Rumah ini adalah rumah yang dibangun orangtuanya 19 tahun yang lalu. Masih tetap berdiri tegak dan paling mewah di antara rumah lainnya. Sejak dulu bangunannya tak pernah dirubah, kecuali warna cat dan barang-barang di dalamnya.
Dewa membuka pintu utama rumah dengan malas. Dia pikir jika tiba di rumah pukul segini, mobil yang terparkir di depan itu sudah pergi. Sehingga nanti Dewa tidak perlu lagi melihat sesuatu menjijikan yang membuatnya selalu marah.
"Malam, Den."
Seorang wanita paruh baya dengan daster kuningnya menyapa Dewa dengan sopan. Dewa membalasnya dengan anggukan dan senyum.
"Bi Warni udah makan?"
Pembantu rumah tangga bernama Bi Warni itu mengangguk.
"Itu di luar Pak Minto katanya laper, belum makan. Ajak makan di luar aja, Bi. Ini duitnya," kata Dewa sambil mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan dari dalam dompetnya.
Setengah bingung Bi Warni menerima uang itu. "Minto bukannya barusan aja makan, Den?"
"Laper lagi katanya. Yang tadi di muntahin soalnya lengkuasnya ketelen," jawab Dewa asal. "Sekalian ajak Pak Toto, Mbak Ika, Mbak Ela, Indah, Pak Asmin, Jaki juga." Dewa menyebutkan seluruh pekerja di rumahnya. "Anggap aja hari ini saya lagi ulangtahun, jadi ngasih traktiran."
Bi Warni terkekeh pelan. Sudah biasa dengan ucapan konyol Dewa. Bi Warni juga paham kalau Dewa secara halus sedang menyuruhnya keluar dari rumah untuk sementara. Biasanya memang seperti ini, dan Bi Warni mengerti. Itu semua karena Dewa tidak ingin kemarahannya ditonton oleh orang banyak lagi.
"Kalau gitu saya panggil yang lain dulu, Den, habis itu kita pergi makan."
Dewa mengangguk-angguk. "Mami di kamar kan, Bi?"
Dengan wajah tak enak, Bi Warni mengangguk. Kemudian segera pamit memanggil personilnya yang lain dan keluar dari rumah dengan cepat. Sebelum Dewa mengeluarkan tanduknya.
Kemeja putih sekolahnya satu persatu dibuka kancingnya oleh Dewa. Sambil berjalan menuju lantai atas, kamar Maminya, Dewa melepas seluruh kancing seragamnya dan melempar seragam itu di tangga dengan sembarang. Hanya kaos putih tipis kini yang tersisa di tubuhnya.
Semakin menaiki anak tangga, semakin otot-otot rahangnya tercetak jelas, semakin darahnya mengalir naik ke atas kepalanya. Membuat wajahnya memerah menahan amarah.
Ketika sampai di lantai atas, langkahnya semakin lebar menuju pintu kamar Maminya. Lalu setelah mendengus bosan ketika mendengar suara percakapan dari dalam sana, Dewa mendorong pintu itu dengan kasar sampai membentur tembok sangat kencang.
Maminya yang sedang berbaring di atas kasur sontak kaget dan terbangun dengan wajah kesal. "Dewa!" serunya.
Diteriaki seperti itu membuat Dewa semakin marah. Dia mengambil kursi dari meja rias dan langsung melemparnya ke tembok dekat kasur Maminya. Kursi kayu pendek itu patah tak tersisa. "Nggak ada kapoknya!!" teriak Dewa.
Belum puas sampai disitu, Dewa kembali melangkah mendekati kasur dan dengan sekali gerakan mengambil sebuah lampu tidur di atas nakas lalu membantingnya ke lantai. "Nggak ada puasnya!!" teriak Dewa lagi.
"Dewa! Hancur semuanya!" balas Maminya dengan tangan yang menutupi telinga.
"Biarin aja, biar hancur kayak lo menghancurkan keluarga kita!" balas Dewa lagi menatap Maminya dengan mata melotot.
Dengan dada yang naik turun karena emosi, Dewa mengepalkan tangannya lalu melayangkan sebuah tinjuan ke wajah yang duduk di kasur di samping Maminya. "Dasar anjing!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Kelima! (bagian 2)
Mulai dari awal
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)