36 - Oh God!

23K 1.2K 37
                                    

Ryan membuka kenop pintu kamarnya dan berjalan masuk. Melepas jas dan rompinya asal lalu merebahkan diri dengan lelah di atas kasur. Banyaknya rapat juga perjumpaannya dengan rekan-rekan bisnisnya benar-benar menguras habis seluruh tenaganya hari ini.

Sebenarnya seluruh kegiatan itu sama sekali tidak berpengaruh banyak padanya selain karena sebuah hal yang terus menyita pikirannya dan membuat kesedihan dengan cepat menyedot seluruh energi itu dari dirinya. Helaan napas berat kembali terdengar sedih di ruangan ini, menyatakan sebuah perih tak terperikan yang membuat dadanya sesak.

Ryan tidak ingin menyerah, hanya saja hari-hari berat yang ia lalui tanpa kepastian seolah memaksanya untuk menyerah daripada harus berpusing ria memikirkannya. Pikiran-pikiran buruk yang datang, berhasil membuat hatinya semakin sakit kala memikirkannya.

Di suatu malam yang sunyi beberapa hari lalu, suara-suara hatinya seolah meyakinkan logikanya bahwa wanitanya sudah mencintai William dan total melupakan dirinya. Disusul asumsi-asumsi berdasarkan fakta yang diterimanya juga pandangan sahabat-sahabatnya mengenai hal ini.

Meski nyatanya ia tidak ingin mempercayainya, kepalanya seolah tidak mau berhenti membuatn ia berpikir demikian. Ryan tersenyum miris memikirkannya, sudah ratusan hari ia berdoa dan mengakui kesalahannya sembari melewati hari penuh kedukaan yang tak berujung, namun permohonannya belum juga dikabulkan.

Entah cobaan apa lagi yang ingin diberikan Tuhan untuk dirinya. Ryan coba untuk bersabar dan menerima seluruh penderitaan ini sebagai balasan atas sikap bejatnya pada wanita yang hanya ia manfaatkan untuk melampiaskan nafsunya semata itu. Tidak sepenuhnya sebenarnya. Ryan tentu menyayangi Valerie, perasaan itu sangat jelas dan tidak terbantahkan. Namun jumlahnya lebih kecil dibandingkan nafsu bejatnya yang selalu minta dipuaskan.

Dan jadilah itu semua menjelma sebagai kegelapan yang ia rasakan kini karena telah berani memanfaatkan wanita baik hanya karena keinginan sesatnya yang selalu minta dipuaskan. Memuakkan sekali.

Ya, Ryan benci dirinya yang sangat menjijikkan ini. Tertawa masam begitu teringat bahwa beberapa kali Bruce menghajarnya hanya karena ia hendak membunuh dirinya dengan berbagai hal gila yang berada diluar akal sehat.

"Untuk apa aku hidup jika Valerie tidak ingin kembali bersamaku ? Hidup ini tidak ada gunanya lagi."

"Jika tahu kau akan menyerah, lebih baik aku tidak membantumu sejak awal bodoh !"

Kata-kata Bruce mungkin ada benarnya. Ia sudah berjalan sejauh ini dan akan sangat sia-sia jika ia memutuskan untuk menyerah. Melewati kekelaman yang penuh hujatan, tudingan tidak berdasar, dan fitnahan yang terlontar dari berbagai wanita jalang hanya karena mereka mengincar uang yang ditawarkan oleh para media yang menanyainya.

Kegelapan dan kesendirian juga seperti seorang sahabat yang menemaninya kemanapun dan dimanapun. Hingga ia tidak lagi dapat merasakan hangatnya sinar matahari yang menyapanya, sejuknya angin yang berhembus, atau nikmatnya segelas kopi di pagi hari. Bahkan merasa hambar begitu perusahaannya memenangkan banyak mega proyek yang biasanya selalu berhasil membuat hormon kesenangannya membumbung berlebihan.

Tanpa Valerie, apapun akan terasa hambar di hidupnya sekarang.

Ryan selalu mencoba menepis pikiran buruk yang berputar di kepalanya, yang muncul setiap saat tanpa kenal waktu dan tempat. Seperti sekarang saat ia sedang duduk di ruang rapat dan mendengarkan penjelasan dari seorang analis perusahaannya dengan cermat, fokusnya langsung buyar begitu pikiran itu menyambangi kepalanya, dan membuat beberapa hal terlewatkan olehnya.

Ia mendesah frustrasi begitu pintu ruangannya tertutup. Menenggak air putih di mejanya lalu membenamkam wajahnya di atas meja, mencoba untuk meredam amarah di dadanya dan kepalanya yang semakin pusing karena itu.

"Aku akan pulang cepat hari ini, tolong urus sebagian pekerjaanku. Terima kasih." pesannya terakhir pada asisten pribadinya sebelum ia memakai kembali jas nya dan memutuskan untuk pulang ke rumah.

*

Rasa pusing itu semakin menguat begitu kepalanya baru teringat bahwa ia belum makan sesuatu yang berat sejak kemarin siang.

Bahkan dalam keadaannya yang seperti ini, Ryan masih bisa menyumpahi tubuhnya yang lemah dan tidak tahu diri. Sampai tiba-tiba, langkahnya membeku melihat seorang wanita yang sedang membelakanginya dan menyaksikan sebuah tayangan pada televisi di hadapannya.

Tidak, tidak mungkin !

Ryan menggeleng cepat dengan air mata yang langsung berkumpul di kedua pelupuknya. Lututnya melemas, dan kegelapan mulai menarik pandangannya pergi. Pada detik itu juga, tubuhnya jatuh menghantam lantai dengan kencang, membuat wanita yang hendak mengganti tayangan televisinya, terlonjak kaget mendengarnya.

"Ryan !"

TBC

[Jeng jeng jeng]

MY WILD HUSBAND | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang