22 - Depression

25.7K 1.3K 50
                                    

Hari selanjutnya berlalu dengan cepat. Tidak ada lagi sosok Ryan yang senang bermain-main dengan banyak wanita seperti dulu. Wajahnya terlihat tegang dan dingin setiap hari. Seluruh sapaan serta godaan dari wanita manapun yang ditemuinya langsung diabaikannya dengan cepat. Ia bahkan sudah meminta Bryan untuk menghapus seluruh nomor wanita yang ada di ponselnya, juga memblokirnya.

Ryan kembali menggebrak mejanya marah. Sudah genap sepuluh hari dan ia belum menemukan setitik celah dimana keberadaan wanita yang ia cintai itu. Ia masih tidak bisa mempercayai bahwa Valerie benar-benar hilang seperti ditelan bumi sejak hari terakhir mereka bertemu. Tidak banyak yang tahu mengenai kabar ini, Bruce—dengan segala kemampuannya— membayar seluruh anak buahnya untuk mencari Valerie. Dimanapun wanita itu berada, siapapun harus menemukannya.

Ryan melempar botol alkohol yang ada di tangannya penuh amarah. Langit hitam pekat yang ada di luar sana, seolah menggambarkan suasana hati seorang pria yang kini membenamkan kepalanya yang terasa berputar itu. Setetes air mata kembali jatuh dari pelupuk matanya. Hatinya hancur, bagaimanapun usahanya untuk mencari Valerie seakan sia-sia. Seakan semua jalan membuntu di hadapannya.

Ia melangkahkan kakinya menuju dinding kaca di ruangannya lalu tertunduk dengan geram. Andai saja ia bisa lebih menahan amarahnya juga keegoisan yang begitu tinggi pada dirinya, Valerie tidak mungkin beranjak pergi darinya. Meninggalkannya bahkan memutuskan ikatan di antara mereka. Suara helaan napas yang berat terdengar setelahnya. Entah untuk yang ke berapa, Ryan terus merutuki dirinya yang sangat bodoh itu. Mengumpat kesal dengan air mata yang terus terjatuh, bersamaan dengan tubuhnya yang kian melemah karena kurangnya asupan yang dikonsumsinya selama beberapa hari terakhir.

Siapa peduli soal itu. Ryan kembali duduk di kursinya dan mencari informasi dari semua data yang dikumpulkannya. Kepalanya yang kembali berputar langsung diabaikannya, dan tangannya yang hendak mengambil sebotol alkohol langsung terjatuh begitu kegelapan menutupi pandangannya sebelum akhirnya seluruh tubuhnya ambruk disitu.

*

Valerie menghembuskan napasnya dengan lembut sambil menikmati pemandangan dari teras salah satu penthouse milik William yang sedang ditinggalinya. Sudah hampir dua minggu berjalan dan kesedihan di hatinya belum juga memulih. Tapi ia merasa cukup terhibur dengan kehadiran William yang sering menemaninya di tempat ini. Valerie bukannya tidak tahu kalau William sangat menyukainya sejak dulu, pria itu bahkan terang-terangan melamarnya jauh sebelum ia mengenal Ryan. Dan entah mengapa, ia lebih memilih Ryan dibandingkan William setelah semua yang terjadi. Ya, pria itu pantas mendapatkan wanita yang lebih baik dari dirinya.

"Valerie."

Valerie menoleh mendengar suara itu. Ia tersenyum hangat "Aku kira kau akan kembali nanti malam William." tuturnya yang langsung dibalas seringaian "Urusanku berjalan dengan sangat lancar. Dan, aku sudah minta Norah memasakkan sesuatu untukmu. Kau pasti belum makan."

"Bagaimana kau bisa tahu ?"

"Kita sudah saling mengenal sangat lama Valerie. Tentu aku mengingat semua hal tentang dirimu." Valerie langsung mengurai tawanya mendengar itu "Kau benar." William memakaikan sebuah mantel pada Valerie setelahnya "Tidak baik berada di luar dalam keadaan mendung seperti ini. Jangan sampai kau kedinginan."

"Terima kasih." Valerie merekatkan mantel itu lalu memandangi langit mendung di atasnya sekilas sebelum melingkarkan tangannya pada lengan William dan kembali berjalan masuk "Apa yang Norah masak untukku ?"

"Makanan yang sehat tentunya. Agar kau dan bayi dalam perutmu bisa tumbuh dengan baik." William tersenyum pahit setelahnya. Bagaimana mungkin ia bisa begitu menyayangi bayi yang bukan darah dagingnya sendiri "Kau harus menghabiskannya nanti."

Valerie mengangguk cerah "Baiklah."

*

"Ryan sadarlah !"

Ryan membuka matanya perlahan saat merasakan tepukan yang cukup kencang di wajahnya. Ia berdecak pelan lalu bangun dari posisinya "Apa aku pingsan ?"

Bruce menghela napas panjang melihatnya. Bertahun-tahun ia menjadi sahabat Ryan, baru kali ini ia melihat Ryan berubah drastis jadi seperti ini "Apa yang kau lakukan ini ? Kau mau menyakiti dirimu sendiri ?" suara decakan terdengar setelahnya "Jangan bodoh Ryan. Kita bahkan belum menemukan apapun tentang Valerie."

Ryan hanya terdiam dengan gamang "Menurutmu dimana dia bersembunyi dariku Bruce ?" tanyanya geram yang langsung dibalas kedikkan bahu "Andai aku tahu, aku pasti sudah memberitahukannya padamu."

"Siapa yang tahu mengenai kabar ini ?" ya, nyatanya ia belum memberitahu siapapun tentang hal ini. Dan ia yakin, Valerie pasti merahasiakan kabar perceraian ini pada kedua orangtuanya "Kau, aku, dan— entah ? Aku tidak memberitahu William soal ini."

William...

Entah apa yang terjadi tapi tubuh Ryan langsung menegang hebat mendengar nama itu kembali berhembus di telinganya. Meski ia belum yakin apa pria itu tahu dimana keberadaan Valerie "Aku tidak akan menanyainya. Jangan sampai dia tahu apa-apa tentang hubunganku dengan Valerie."

Bruce mengangguk samar "Jaga dirimu baik-baik Ryan. Jangan lupakan jika kau ingin bertemu dengannya lagi." pesannya sebelum kembali melangkahkan kakinya pergi dari situ.

"Dimana kau Valerie ?" lirihnya pelan. Rambutnya yang sudah acak-acakan langsung dijambaknya frustrasi. Ryan yakin wanitanya itu pasti ada di suatu tempat di bumi ini. Hanya dimana ? Ia menggeram kesal dan kembali melempar gelas kaca yang ada di hadapannya.

Dan kemarahannya makin meluap begitu sekretarisnya memberikan sebuah amplop yang ternyata berisi surat perceraian yang sudah ditandatangani oleh Valerie. Ryan langsung merobeknya dengan marah "Bakar saja kertas ini hingga habis !" teriaknya berang.

Sudah lewat satu bulan namun belum ada tanda-tanda keberadaan Valerie yang membuat dirinya makin gelisah dan frustrasi. Ryan kembali memandangi setumpuk kertas di tangannya. Tanpa sadar, kertas-kertas itu justru teremas kuat oleh tangannya yang seperti ingin melampiaskan kekesalannya.

Pikirannya yang tiba-tiba memunculkan sebuah nama, langsung membuatnya bertindak impulsif. Dengan cepat, ia mengambil kunci motornya lalu berlalu pergi. Menghampiri seorang pria yang nyaris ia bunuh saat itu.

"Dimana Valerie ! Kau pasti menyembunyikannya dariku !" Charles langsung menepis kedua tangan yang mencekik kerah kemejanya itu kasar "Ada apa denganmu ?!"

"Dimana dia ? DIMANA ?" sebuah pukulan keras langsung menghantam Charles setelahnya. Ia terjatuh sambil meringis pelan "Harusnya kau sadar, sikapmu itu tidak bisa membuatnya nyaman. MALU LAH PADA DIRIMU." Ryan jatuh terjerembab saat sebuah pukulan kencang melayang pada wajahnya.

"Kau harusnya tanyakan itu pada dirimu sendiri ! Dimana kau saat dia membutuhkanmu," ia mendengkus tidak suka setelahnya "Dan sekarang kau baru mencarinya saat wanita itu sudah mendapatkan ketenangannya. PRIA EGOIS !"

"DIAM KAU BAJINGAN ! DIMANA KAU SEMBUNYIKAN VALERIE ?!"

"AKU TIDAK TAHU !"

"DASAR PEMBOHONG !"

TBC

[Yay, surprise update kawan" hehe. Supaya menjawab rasa penasaran kalian. Jangan lupa untuk berikan vote dan comment kalian ! ]

MY WILD HUSBAND | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang