34 - Worst feelings

25.2K 1.2K 27
                                    

Matahari bersinar cerah pagi ini, menyebarkan sinar terangnya yang belum terlalu panas pada sebuah kota kecil yang berada jauh dari London. Dan disinilah Valerie berada. Tubuhnya bersandar pada sebuah bantal di atas kasurnya sambil menggenggam segelas susu hangat yang telah dibuatkan William untuknya tadi.

Menyaksikan tayangan kuliner di pagi hari sambil menghabiskan sarapannya perlahan. William masuk tak lama setelahnya, terlihat tampan dalam balutan setelan jas mahal buatan designer ternama. Senyumnya terkembang begitu melihat Valerie yang dengan santai menghabiskan susu yang dibuatnya sambil menyaksikan tayangan di televisi.

"Jangan lupa untuk menghabiskannya." Valerie menoleh dengan senyum anggun pada wajahnya. Mata coklatnya memandang sekilas penampilan William yang sangat rapi pagi ini "Kau mau pergi ?"

"Iya, ada rapat yang harus kupimpin pagi ini." Valerie manggut-manggut mendengarnya "Baiklah, tidak apa."

"Aku akan segera kembali." William menarik sebelah tangan wanita di hadapannya lalu menggenggam tangan mungil itu hangat. Berusaha menenangkan perasaannya yang sedikit kalut pagi ini. Mungkin karena alkohol yang terlalu banyak ditenggaknya semalam.

"Kau baik-baik saja William ?" tanya Valerie yang bisa langsung merasakan kejanggalan pada sinar mata William yang meredup, "Aku baik-baik saja." kilah William dengan senyum samarnya. Ia mengecup tangan itu lembut "Aku harus pergi, jaga dirimu."

Valerie mengangguk pelan "Berhati-hatilah William."

William menyambut itu dengan sebuah senyum teduh seperti biasa, lalu melangkah keluar kamar dan melenggang pergi dari situ.

Suara helaan napas berat terdengar setelahnya. Valerie meletakkan gelas yang dipegangnya ke atas nakas lalu berjalan menuju jendela dengan perlahan. Perutnya yang sudah semakin membesar membuat kakinya kadang kehilangan keseimbangan, mudah goyah dan dikhawatirkan bisa membuatnya terjatuh.

Itulah alasan mengapa William semakin mengetatkan penjagaannya pada Valerie sekarang-sekarang ini. Ia tidak mau ada suatu hal buruk pun yang terjadi pada wanita itu, ataupun bayi yang sebentar lagi akan lahir ke dunia.

Valerie menyentuh kaca yang sedikit berembun di hadapannya. Mengusapnya perlahan sembari sebelah tangannya juga mengelus perut besarnya. Termenung sendu pada ruangan besar sendirian seperti ini, membuat ia kembali terbayang pada beberapa hari yang lalu dimana ia menerima sebuah surat yang ditulis langsung oleh— ah, Valerie tidak ingin mengingatnya lagi. Hanya saja perasaan yang lama ditepisnya itu seolah perlahan merasuk ke dalam hatinya. Mempengaruhi hatinya yang sengaja ia tutup, dan kini berimbas pada janin yang sedang dikandungnya.

Seulas senyum sedih tergambar jelas pada wajah Valerie. Bagaimanapun juga, anak yang dikandungnya memiliki darah daging pria yang terus berusaha menggapainya kembali. Sekuat apapun Valerie coba menepis perasaan rindu yang dirasanya, anak di dalam perutnya seperti memaksanya untuk terus memikirkan perasaannya pada Ryan.

Memikirkan bagaimana keadaan pria itu tanpanya, dan menerka-nerka seperti apa sikapnya sekarang ini. Apa masih sama dengan yang dulu ? Semoga saja tidak. Karena jika iya, William belum tentu berani mengatakan berbagai hal baik padanya mengenai pria itu. Juga membujuknya untuk bersatu dengan Ryan.

Sekali lagi, Valerie terus mencoba mengusir kegusaran di hatinya. Mematikan tiap percikan cinta yang dirasakannya untuk pria itu.

Meski pada hari itu, air matanya sudah mengalir deras bahkan saat matanya membaca kalimat pertama dari surat yang diterimanya. Dan mendekapnya sedih setelah ia selesai membacanya.

Ia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Pada logikanya ataupun perasaannya. Dadanya menghangat membaca surat itu, dan makin hangat begitu William mendekapnya erat seolah takut kehilangan dirinya.

Ya. Valerie mengakui, rasa sayangnya pada William makin menguat setelah enam bulan berlalu sejak hari pertama mereka tinggal bersama.  Hanya saja ia cukup tahu diri untuk tidak mengharapkan apapun dari pria itu meski sebenarnya ia tahu William juga menginginkan dirinya.

Entahlah, hari-harinya berlalu begitu saja dengan berbagai hal dan perasaan yang tidak dapat didefinisikan. Valerie menghela napas pelan dan memutuskan untuk kembali duduk di tepi kasur. Mata coklatnya memandangi perutnya yang membesar dengan lembut.

William benar tentang penuturannya waktu itu. Saat dimana keduanya saling berterus terang dengan penuh air mata dan hati yang hancur. Pria itu katakan bahwa anak yang dikandung Valerie harus bertemu dengan ayah kandungnya, apalagi setelah ayah dari anak itu sudah berubah semakin baik hari ke harinya. Tidak ada alasan untuk tidak menerimanya kembali.

Valerie tidak bisa membantah karena sejujurnya ia juga tidak ingin anaknya lahir tanpa seorang ayah.

Dan ya, lusa lalu ia sudah berbincang dengan William mengenai keputusan terakhirnya. Meski sempat terdiam sejenak, William tetap memberikan anggukan setujunya. Valerie tidak mengurai senyumnya, karena ia tidak tahu perasaan apa yang menguasai dirinya saat itu.

Jadilah malam itu mereka kembali saling menenangkan, hingga Valerie terlelap dalam dekapan hangat William yang seolah tidak rela membiarkannya pergi.

TBC

[Ciee kemarin nyariin kenapa aku ga update WKWK, gaada ya ? ya udah aku ga update besok! Canda ^^ ]

P.s. jangan lupa untuk cek cerita lainku juga ya. ily!

MY WILD HUSBAND | ENDDove le storie prendono vita. Scoprilo ora