24 - Breath

25.6K 1.2K 35
                                    

Langit di kota New York cukup mendung pagi ini. Ryan dengan langkah pelannya, memandangi langit kelabu itu dari salah satu penthouse nya dengan tatap gamang. Ya, empat bulan sudah berlalu sejak hari itu. Dan ia sama sekali belum menemukan titik cerah dimana Valerie berada.

Kabar kepergian Valerie yang terus ia tutupi, perlahan mulai terbuka satu persatu. Mulai dari kedua keluarga yang mengetahuinya, juga para media massa yang memberitakannya sebagai kasus skandal. Para wanita yang pernah ditiduri Ryan pun berani untuk menampilkan wajah mereka di depan kamera, memberi kesaksian palsu hanya untuk mendapatkan uang banyak. Jika saja keadaannya sedang baik, mungkin ia akan memenjarakan seluruh wanita itu atau menyiksanya dengan algojo sewaannya.

Mau tidak mau, Ryan harus menemui ayahnya waktu itu. Dan yang didapat adalah bertubi-tubi pukulan yang menghantam seluruh tubuhnya. Jefferson langsung murka saat pertama kali mendengar kabar itu, yang dibicarakan langsung oleh para pelayan di rumahnya. Ia yang mendengarnya langsung melampiaskan amarah itu pada Ryan tanpa henti. Ryan hanya bisa terdiam pasrah, karena memang ini semua salahnya. Setelahnya, ia masih harus menerima kekecewaan dari Abraham yang ditujukan padanya. Pria itu juga sepertinya tidak ingin berlama-lama berbincang dengan Ryan, dan pilih untuk melanjutkan pekerjaannya.

Berita mengenai kasus skandal yang terjadi antara Ryan dan melibatkan Valerie di dalamnya, sudah tersebar luas hingga kemana-mana. Setiap sudut kota membicarakannya, dan memperbincangkannya, membuat Ryan makin sulit menunjukkan wajahnya dengan tenang diluar sana. Sementara tekanan yang ada di dalamnya juga sama besarnya dengan yang diluar.

Ryan menghela napas beratnya, berusaha mengusir kesesakan di dadanya. Rambutnya yang tidak lagi tersisir rapi, cambangnya yang tumbuh berantakan, juga wajahnya yang kusut, sudah menjelaskan berapa lama pria itu menahan penderitaannya seperti ini. Tidak ada lagi senyum di wajahnya, apalagi mata berbinar dan seringai nakal yang selalu ia tunjukkan sejak dulu. Pikirannya hanya terfokus pada Valerie. Segala cara sudah dilakukannya untuk mencari keberadaan wanita itu, namun hasilnya nihil.

Dan kenyataan bahwa Valerie mengandung anaknya, membuat pikirannya menggelap. Persetan dengan tubuhnya yang mulai sakit-sakitan, ia harus menemukan dimana Valerie berada.

ting!

Ryan mengambil ponsel hitamnya yang berada di saku celananya. Sebuah pesan masuk, memenuhi layar ponselnya saat ini. Ibu jarinya menekan notifikasi itu, dan matanya langsung terbelalak begitu ia melihat isi pesannya.

Cassie tidak mengandung anakmu Ryan. Aku berhasil menemukannya dan membawanya ke rumah sakit, nama pria itu Alexandro Cavvinson. Bukan dirimu. Aku akan bawakan hasil lab dan berkas lainnya padamu besok. Sementara aku harus mengurus Cassie dulu.

Ryan langsung menghembuskan separuh nafasnya yang tertahan. Sesuatu di dalam dirinya langsung berkobar hebat setelah itu. Untuk pertama kali setelah sekian lama, matanya kembali berbinar dan sudut-sudut bibirnya mulai terangkat dengan jelas. Sebelah tangannya mengusap sudut matanya yang tiba-tiba berair.

Bagai api yang disulut dengan gas, Ryan segera melangkahkan kakinya beranjak dari tempatnya dengan semangat. Mengambil kunci mobilnya dan berlalu dari situ.

*

William memandangi layar ponselnya dengan gelisah. Ia tidak menyangka jika anak buahnya mengatakan kalau ia bertemu dengan banyak orang yang sedang mencari keberadaan Valerie. Dan ia cukup tercengang karena menurutnya, tempat ini sudah cukup jauh dari New York. Tapi mengapa mereka— "William."

William mengangkat wajahnya kembali dan memandangi Valerie yang sedang menatapnya dengan tersenyum "Ada apa ?"

"Apa kita bisa berjalan-jalan ke taman ? Aku bosan disini." keluh Valerie dengan wajah murung, membuat William jadi bingung sendiri karenanya. Di satu sisi ia ingin membawa Valerie pergi lagi dari tempat ini untuk tetap menyembunyikannya, tapi di sisi lain wanita itu sedang mengandung. Ia benar-benar tidak akan mengijinkan wanita itu pergi dalam jarak jauh menggunakan pesawat dalam kondisi hamil besar seperti ini.

Apalagi sekarang ia meminta pergi ke taman. Para orang suruhan Ryan itu pasti akan dengan mudah menemukan mereka.

"William," panggil Valerie lagi

"Baiklah, tapi sebentar saja. Cuaca diluar cukup dingin saat ini." ucap William beralasan. Valerie mengangguk cepat, ia langsung berdiri dan mengambil mantelnya. Disusul William yang langsung menghubungi kepala pengawalnya "Jangan sampai orang-orang itu menyentuh Valerie, atau menganggu kami nantinya." ucapnya pelan.

Setelahnya, Valerie berjalan keluar dari kamar dan sudah mantel hitam panjang miliknya. Ia lalu menggamit lengan William erat dan berjalan keluar dari situ.

Jarak antara penthouse dan taman sebenarnya tidak cukup jauh. Hanya saja, karena perut Valerie yang mulai membesar, William harus memperlambat jalannya dan memakan waktu lebih banyak untuk sampai ke taman. Tapi tidak masalah, ia senang bisa menemani Valerie sekarang ini. Melihat wajah cantiknya yang kembali tersenyum cerah dengan binar-binar kebahagiaan di matanya.

"Taman ini lebih bagus dari taman di rumahku." derai tawa William terdengar setelahnya "Benarkah ?" tanyanya yang lalu dibalas anggukan. Valerie kembali termenung, mengingat taman di rumahnya yang penuh dengan kenangan. Sejujurnya ia sedikit penasaran bagaimana keadaan Ryan saat ini tanpa dirinya, khawatir jika pria itu melakukan sesuatu yang diluar kewajaran. Seperti biasanya.

"Kau tidak mau kembali ke rumahmu Valerie ? Menemui Ryan lagi ?" Valerie menggeleng samar "Untuk apa ?"

William menuntun Valerie untuk duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari batu, lalu merapatkan mantel wanita itu dan menggengam sebelah tangannya hangat "Ryan terus mencarimu tanpa henti."

"Benarkah ? Kau bertemu dengannya ?" William menggeleng. Ia yakin Ryan tidak mau menemuinya dan menanyakan hal ini karena rasa gengsi yang ada dalam dirinya "Aku hanya mendengarnya dari Bruce dan beberapa anak buahku."

Valerie termenung sejenak dan gurat kesedihan langsung menghiasi wajahnya. Mungkin karena anak yang dikandungnya adalah darah daging Ryan, sesekali ia merindukan pria itu. Mungkin anak ini merindukan ayahnya, "Aku hanya takut William. Takut jika ia tidak mau menerima anak ini," ujarnya sedih seraya mengusap-usap perutnya yang membesar dengan lembut "Aku menyayanginya, dan tidak akan pernah menggugurkannya."

Kata-kata itu, sejenak membuat William terhenyak. Ia sedikit tidak menyangka jika Valerie akan menganggap Ryan sedemikian parahnya "Ryan bukan pria seperti itu Valerie. Maksudku— dia memang liar, dan nakal. Tapi dia tidak mungkin memintamu menggugurkan bayi dalam kandunganmu itu. Bukankah itu darah dagingnya sendiri ?"

Entahlah, Valerie menghela napas panjangnya lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Memandangi daun-daun pada pepohonan yang saling bergesekan, ditemani banyak burung juga kupu-kupu yang beterbangan di sekitarnya "Menurutmu begitu ?"

"Tentu." William menoleh, memandangi wajah Valerie yang sedikit muram karena perbincangan ini. Bagaimanapun juga, wanita itu harus kembali bersama suaminya. Demi anak itu, meski ia sangat menginginkan Valerie untuk terus berada di dekatnya.

"Apa kau suka churros ?" Valerie mengangguk cepat mendengar itu. Wajahnya kembali cerah dalam waktu singkat, membuat William menyeringai geli melihatnya "Di dekat sini ada gerai yang menjual churros. Bagaimana jika kita membelinya ? Kau mau ?"

"Boleh aku membelinya banyak ? Sudah lama sekali aku tidak makan cemilan itu." William mengangguk "Berapapun yang kau mau."

TBC

[My Protective Bodyguard sudah mulai dalam tahap pengerjaan ! Silahkan FOLLOW akun ini untuk mendapatkan informasi yang sewaktu waktu akan aku share di wall wattpad aku. Terima kasih! ]

MY WILD HUSBAND | ENDWhere stories live. Discover now