"Panggilan sayang gitu maksudnya? Kayak orang-orang?" goda Irene.

       "Iya, kurang lebih gitu"
       "Yaudah, mulai sekarang kalau kita berdua aja, nggak ada lagi bapak dan saya, oke?" ujar Irene tersenyum. Ian mengangguk mantap membalas senyum Irene.

        "Sampai ketemu besok, ya sayang. Hati-hati kamu" Irene melambaikan tangannya lalu turun dari mobil. Meninggalkan Ian yang sedang senyum-senyum sendiri mendengar Irene memanggilnya sayang.


*****************************

        Berkat kejadian 'dikira bapak' beberapa waktu lalu, kini mereka memiliki panggilan sayang untuk diri mereka. Ian, lebih tepatnya, yang selalu memanggil Irene dengan sebutan sayangku, pacarku atau cintaku. Tapi Irene terkadang lupa memanggilnya sayang. Ia terus memanggilnya bapak atau kamu. Irene memang tidak romantis, pikir Ian tak mau membuat masalah.

       Tak terasa kini usia hubungan mereka sudah yang kedua bulan. Dengan pintar dan rapih mereka menyembunyikan hubungan mereka dari orang-orang terdekat. Dani, yang sering berada disekitar mereka juga tak merasa curiga sedikit pun.

       Hari ini, Irene sedang pergi bersama Vanya, teman baiknya sejak SMA. Vanya anak yang baik dan memiliki kepribadian yang menyenangkan, sifat keduanya pun tak jauh berbeda. Hanya saja Vanya terlihat seperti gadis nakal karna ia perokok dan berbicara kasar. Irene tak ambil pusing soal pendapat orang mengenai sahabatnya itu, karna ia tahu Vanya gadis yang baik terlepas dari bagaimana ia menjalani hidupnya.

      "Aku mau ketemu pacarku ih, kamu gimana?" tanya Vanya duduk bersebelahan dengan Irene di bangku mall. Terlihat berbagai macam belanjaan hasil buruannya.

      "Antar aku pulang, lah" jawab Irene santai.

      "Nyusahin banget. Minta jemput si om aja ya, njing" ujar Vanya lagi. Vanya tahu mengenai hubungan Ian dan Irene, ia hanya tidak tahu bahwa Ian sudah menikah.

      "Dia lagi istirahat kasian ah. Kamu ketemu pacarmu aja, biar aku pulang pesen GOJEK aja" Irene mengeluarkan ponselnya untuk memesan ojek online. Seketika Vanya merebut ponselnya dan menelpon Ian.

      "Halo, Om? Ini Vanya, aku nggak bisa antar pulang Irene, om jemputin dia, ya?" cerca Vanya pada Ian yang baru saja bangun. Irene mencoba mengambil ponselnya namun gagal.

      "Oh, gitu. Yaudah tunggu, saya cuci muka dulu. Telponnya kasihkan Irene, dong" balas Ian berdiri mengambil handuk kecil di ranjangnya.

      "Oke Om makasih. Nih" ujar Vanya menyerahkan ponsel Irene. Dengan hati-hati Irene menjawab telpon dari Ian. Ia takut Ian marah padanya.

      "Halo sayang?" sapa Irene.
      "Ehm, kamu dimana?" tanya Ian.
      "Aku di Plaza. Sayang baru bangun, ya?"
      "Iya, aku cuci muka dulu baru jemput kamu. Lain kali kalau mau minta jemput, kamu aja yang ngomong langsung, jangan suruh orang, ya sayang" ujar Ian lembut. Irene menatap tajam Vanya yang tersenyum tak bersalah.

       "Iya sayang, itu Vanya yang nelpon, maaf ya"
       "Nggak apa-apa, yaudah nanti aku telpon lagi kalau OTW. Dahh" Ian mematikan telponnya dan segera berganti pakaian.

        "Anjir, kena semprot aku gara-gara kamu!" bentak Irene sesaat telponnya mati. Vanya hanya tertawa.

        "Sorry, nggak maksud. Udah malem mau pake GOJEK bahaya kali, Ren. Mending si om aja suruh jemput"
        "Ya tetep aja aku nggak enak dong, ngerepotin dia gitu"
        "Eh, bego, dia pacarmu kan? Mana ada sama pacar sendiri ngerepotin. Aneh"
        "Meskipun pacar sendiri kalau ngerepotin ya ngerepotin"
        "Dia juga nggak masalah, kan? Buktinya dia mau jemput kamu. Berarti dia nggak ngerasa direpotin"
         "Tau ah males ngomong sama kamu, sempak firaun"
         "Anjing! Eh, kamu sama si om udah ngapain aja?" tanya Vanya tanpa basa-basi. Irene berpikir sejenak lalu menjawab pertanyaan itu hati-hati.

Burning DesireKde žijí příběhy. Začni objevovat