Tanpa disadari tangan Irene mulai naik ke belakang kepala Ian dan menarik pelan rambut Ian membuat ciuman Ian semakin panas. Ian menggigit bibir bawah Irene memberikan kejutan untuk Irene. Jantung mereka terpacu lebih cepat, ciuman mereka pun kini mengeluarkan suara khas lidah yang menari indah didalam mulut Irene.

    Ciuman dalam itu pun di hentikan saat Irene mulai tersadar sedang mencium seorang pria beristri dan juga bosnya. Ia menarik kepalanya menjauh dan menyeka sisa saliva dibibirnya. Tanpa bicara apa-apa ia turun dari mobil dan meninggalkan Ian yang bingung melihat sikap Irene. Tak lama ia memutar mobilnya dan meninggalkan rumah Irene.

     Irene tidak mungkin menemui ayah dan ibu dengan bibir yang masih membengkak bekas ciuman tadi. Irene menatap wajahnya di pantulan cermin. Ada perasaan aneh dalam hatinya. Ia merasa kotor dan murahan karna seenaknya dicium oleh seorang laki-laki yang bukan pacarnya dan juga laki-laki itu memiliki istri. Tapi ia juga merasakan ada kupu-kupu didadanya. Ia bahagia akhirnya dapat mencium bibir laki-laki itu. Apa aku menyukainya, batin Irene.

      Sudah lewat tengah malam, Ian menelpon dan mengirimi pesan kepada Irene sejak ia pulang tadi namun tak satupun yang dibalas Irene. Ian khawatir tentang pemikiran Irene terhadapnya. Ian mulai menyesali sikap gegabahnya mencium Irene. Tapi jika diingat-ingat bukan hanya Ian yang mencium Irene tapi gadis itu juga membalas ciuman Ian. Mungkin dia sudah tidur, pikir Ian. Ian memutuskan mengirimkan pesan singkat saja ke Irene.

      'Saya telpon kamu dari tadi tapi kayaknya kamu sudah tidur. Kalau gitu selamat malam, mimpi indah'

      Hingga waktu subuh Irene masih tidak bisa tidur. Selesai sholat ia mencoba memejamkan matanya, namun sayang setiap matanya tertutup wajah Ian terlintas dibenaknya membuat Irene kembali tersadar. Irene memutuskan untuk jogging menghilangkan pikirannya dari bayang-bayang Ian. Irene mengganti bajunya dengan kaos polos dan celana training. Lalu memasang earphone dan memainkan musik dari ipod mini-nya. Irene tidak membawa ponselnya dan meninggalkan catatan dipintu kamar untuk ayah dan ibu.

      Irene berlari kecil sambil bernyanyi, berharap bayang-bayang Ian dapat cepat menghilang. Tapi sepertinya sulit. Semakin kuat Irene mencoba melupakan kejadian semalam malah semakin jelas. Ia bisa mengingat setiap sentuhan bibir Ian di bibirnya. Suara yang dihasilkan oleh lidah mereka yang beradu pun seakan menutupi lagu yang saat ini ia dengarkan. Irene kini berlari tanpa arah. Masa bodoh ini kemana, batin Irene.

     Hampir 30 menit berlari Irene pun merasa lelah. Ia terduduk di trotoar mengatur napasnya dan menyeka keringat yang membanjiri tubuhnya. Ia memandang sekeliling dan mendapati tempat itu tidak asing. Bingo! Irene ternyata bukan berlari tak berarah melainkan berlari menuju komplek kantornya. Jarak rumah Irene dan kantor memang dekat, hanya 8 menit menggunakan motor. Itulah kenapa tak jarang Irene diantar ayah saat pergi kerja dan berjalan kaki saat pulang.

     Irene menyadari bahwa lamunannya tentang Ian menuntunnya untuk datang kemari. Irene yang masih lelah mencoba bangkit untuk melanjutkan larinya pagi itu. Tapi suara seseorang mengejutkannya.

    "Irene? Ngapain disini?" tanya Dani yang baru turun dari sepeda motor. Kemudian ia mencium pipi gadis yang mengantarnya tadi dan duduk disebelah Irene.

    "Pertanyaan saya belum dijawab, lho" goda Dani sambil menyalakan rokoknya. Irene menatap tak percaya pada Dani. Pulang pagi bersama perempuan dan sekarang membuat polusi dengan asap rokoknya.

    "Saya jogging, mas. Gak tau udah nyampe sini" jawab Irene mengibaskan tangannya di depan wajahnya mengusir asap rokok Dani.

    "Ooh mumpung libur ya. Olahraga dikit"
    "Iyalah. Emang mas Dani, gak pernah olahraga" Dani kemudian menatap genit ke Irene.

    "Saya olahraganya kan tadi malam. Tuh instrukturnya baru pulang" kata Dani terkekeh. Irene memandang jijik pada Dani lalu tertawa bersama.

     "Mau kemana habis ini?" tanya Dani lagi sudah selesai menghisap sebatang rokok.
     "Mau pulang, lah"
     "Gak sarapan dulu?"
     "Lupa bawa duit, mas. Kalo di traktir mau"
     "Dasar perempuan. Tunggu, bentar lagi ada bubur ayam lewat, kita beli itu aja" kata Dani dibalas anggukan cepat Irene.

      Tak lama datanglah penjual bubur ayam yang dimaksud. Dani menyuruh Irene memesan dua porsi. Selagi Irene memesan, Dani menerima telpon dari Ian yang menanyakan apa Dani tidak pulang pagi ini.

     "Ini gua lagi makan bubur ayam didepan. Elu mau nitip, kang?" sahut Dani.

     "Kagak usah, gua ntar aja sarapannya" jawab Ian bersiap mematikan telpon. Lalu samar-samar ia mendengar suara Irene

    'Mas, lengkap gak? Pake semua?' darah Ian mendidih.

     Semalaman ia mengkhawatirkan Irene dan sekarang Irene sedang berdua dengan Dani. Apa mereka menghabiskan waktu bersama semalam, pikir Ian. Tetap menjaga imejnya didepan Dani dengan tenang ia menanyakan asal suara tersebut.

     "Lagi sama cewek, ya?"
     "Oh itu si Irene, kang" jawab Dani santai tak mengetahui betapa marahnya Ian sekarang. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Ian mengepalkan tangannya menahan amarah.

     "Irene? Kok bisa sama elu? Habis ngapain lu berdua semalem?"
     "Beda-beda, kang. Irene begini saya begitu" canda Dani.

      Irene mendegar namanya disebut menatap penuh tanya kearah Dani yang hanya tersenyum genit. Ian menutup kasar telponnya lalu mengambil jaket dan berjalan cepat kedepan.

     Dengan hati yang penuh amarah ia mendapati Irene dan Dani sedang menikmati bubur ayam sambil bercanda tawa. Beberapa langkah lagi ia akan sampai tepat di belakang mereka. Tiba-tiba saja Irene menoleh dan melihat Ian. Wajah Irene kaku, kaget bukan main. Dani ikut menoleh kemudian menegur Ian yang menatap tajam Irene.

     "Eh, kang? Mau juga?" sahut Dani mengangkat mangkuk buburnya. Ian masih diam menatap nanar Irene.

      Wajahnya memberikan ekspresi campur aduk. Ia marah melihat Irene disini berdua dengan Dani, tapi juga senang mengetahui Irene baik-baik saja. Sorot matanya seakan meminta penjelasan tapi disaat yang sama menyiratkan perasaan marah bercampur cemburu.

       Dani mendekati Ian dan menawarkan bubur ayam padanya. Ian menatap Dani sebentar lalu menatap Irene lagi. Irene masih kaku bagaikan patung melihat Ian. Ia tak menyangka akan bertemu Ian sekarang. Irene tak menghabiskan buburnya lalu berdiri.

      "Mas, makasih buburnya. Saya pulang dulu. Mari, mas" pamit Irene beranjak pergi. Ian terlihat ingin menahan Irene pergi namun Irene lebih dulu ditahan oleh Dani.

      "Lho, kok pulang? Kamu belum minum. Ke kantor dulu, yuk, minum teh. Saya buatin" ajak Dani menggenggam tangan Irene. Ian masih berusaha menahan amarahnya melihat Dani dengan lancang menyentuh Irene. Irene sendiri hanya tersenyum canggung dan melepaskan tangan Dani darinya.

      "Gak usah, mas. Saya ngantuk. Mari, mas" Irene berhenti sejenak sebelum melanjutkan berpamitan dengan Ian.

      "Pak Ian, saya pulang dulu" Ian ingin menahan Irene pergi namun ia sudah keburu ditarik Dani. Irene sendiri juga sudah hilang dari pandangannya.






*slow update ya lagi bulan puasa hehe. Ditunggu komen, kritik dan sarannya guys*

Burning DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang