Setelah memesan Ian kembali berkutat dengan ponselnya. Ponsel Irene mati karna lupa dicharge tadi. Sekarang ia hanya memainkan ujung jarinya. Ian yang menyadari ketidaknyamanan Irene pun menegurnya.

   "Kasian jarinya digaruk gitu" buka Ian mengejutkan Irene. Dengan cepat ia menenangkan diri dan membalas Ian.
   "Mau garuk yang lain gak enak diliat orang, pak"
   "Oh, makanya cebok yang bersih"
   "Maksud saya hidung, pak"
   "Saya cuma kasih tau aja kalo cebok yang bersih. Salah?"
   "Ya nggak juga sih" Ian tersenyum tipis. Pelayan membawakan minuman mereka. Ian memesan ice lemon tea dan Irene memesan ice milo. Menyeruput sedikit milo dingin membuat tenang Irene.
    "Haus, kah?" goda Ian menatap Irene jenaka.
    "Haus. Habis ngikutin orang tadi. Ngajakin makan tapi saya ditinggal jalannya cepet banget lagi kayak ketauan nyopet" cerca Irene panjang dan cepat.
    "Nyopet hati kamu. Kamu kalo ngomong cepet ya ternyata"
    "Idih, masa sih? Perasaan biasa aja"
    "Kalo saya lemot pasti perlu teks dibawahnya buat ngerti kamu ngomong apa"
    "Emang bapak gak lemot?" tanya Irene senyum menggoda bosnya. Ian baru ingin mengacak rambut Irene sebelum pelayan datang kembali dengan makanan mereka.

    Sebelum menyuapkan nasi kedalam mulutnya, Irene mencoba mencari informasi tentang pria di depannya, apakah masih single atau sudah berbuntut.
    "Bapak asli sini atau dari luar, sih pak?"
    "Jakarta"
    "Oh. Udah lama disini?"
    "Ini tahun ke 6"
    "Lama juga. Gak bosen, pak?"
    "Bosen sih. Disini gak ada cewek cantik" jawab Ian menatap Irene.
    "Emang di Jakarta ada cewek cantik yang mau sama bapak?" tanya Irene. Sebenarnya ia tidak terima dengan jawaban Ian.
     "Ada dong. Anak saya" jawab Ian membuat Irene tersedak makanannya sendiri. Ia batuk-batuk mendengar jawaban Ian. Dengan cepat Ian menyodorkan air minum ke Irene. Setelah agak tenang Irene melanjutkan interogasinya.
     "Bapak udah punya anak?"
     "Iya. Anak saya satu"
     "Istri bapak?"
     "Satu juga" Irene terdiam mendengar jawaban itu. Entah kenapa hatinya merasa sakit. Agar tidak terlihat aneh di hadapan Ian, ia melanjutkan pertanyaan basa-basinya. Ia menanyakan tentang istri dan anak Ian. Dengan santai Ian menjawab setiap pertanyaan Irene.

     Kalau boleh jujur, Ian sebenarnya enggan menjawab pertanyaan itu. Ia tidak bermaksud menyembunyikan fakta bahwa ia sudah menikah, namun ia juga tidak ingin menceritakannya pada Irene. Karna dalam hati kecilnya, Ian memiliki perasaan tersendiri pada Irene. Ia melihat sesuatu yang tidak ada pada istrinya. Tapi bukan berarti ia mau menyelingkuhi istrinya begitu saja.

    Sifat Irene yang ramah dan selalu ceria membuat Ian nyaman bersamanya. Irene selalu bisa membuat Ian tersenyum dengan candaan konyol dan pembicaraan yang tidak ada habisnya. Ian termasuk orang yang lebih senang mendengar orang lain bercerita dibanding menceritakan kisahnya. Tapi bersama Irene, Ian menjadi sosok yang baru. Ia menceritakan semua yang ia rasakan, cerita masa lalu ataupun rencana masa depannya pada Irene. Hal-hal yang tak pernah ia ceritakan kepada istrinya. Bukan karna ia tak mau, hanya memang istri Ian tak pernah menanyakannya. Istri Ian lebih sering menceritakan dirinya sendiri.

    Sebulan ini Irene dan Ian semakin dekat. Walaupun sebatas bos dan karyawan tapi tak jarang Ian bercerita soal urusan pribadi. Begitu juga dengan Irene. Bahkan sering kali Irene menumpahkan keluh kesah pada Ian. Ia sudah menganggap Ian bagaikan pengganti sang kakak.

   Irene sedang keluar kantor untuk membeli cemilan di minimarket. Arifin dan Dani yang asik mengobrol mulai membicarakan Irene. Mereka memujinya karna mampu bekerja dengan baik walau ia tak punya pengalaman apapun. Ian yang duduk dimejanya tersenyum setuju dengan pendapat karyawannya itu.

   "Irene tuh, udah cantik, baik terus gak gengsian. Rajin juga beberes. Emang butuh sentuhan perempuan nih kantor" ujar Arifin memuji.

   "Iye, pak. Gua mikir, cewek cantik kayak dia pasti jaim gitu depan orang, yah gak tahunya malah dia kagak punya malu" timpal Dani diiringi tawa Arifin. Dani mengalihkan pandangan ke Ian yang hanya tertawa kecil.
   "Menurut lu, kang? Irene tuh gimana?" tanya Dani pada Ian. Setelah berpikir sejenak Ian menjawab
   "Baik. Pinter juga"
   "Cantik juga?"
   "Ehmm cantik"
   "Udah punya pacar belum, kang? Elu deket sama dia, pernah cerita gak dia?" tanya Dani semangat. Ian mengernyitkan dahinya. Ia mengerti maksud Dani.
   "Kagak tau, tanya aja sendiri" jawab Ian dengan sedikit kesal. Ia merasa percikan api kecemburuan dalam hatinya.
   "Sewot amat, kang. Iyedah ntar gua tanyain. Mudahan kagak ada pacarnya deh, jadi bisa gua deketin. Ya, nggak pak?" Dani menyenggol lengan Arifin yang hanya mengangguk kecil. Ian semakin kesal mendengarnya. Ia baru ingin menumpahkan kemarahannya pada Dani kalau saja Irene tidak datang.
   "Hai bapak-bapak. Bidadari datang membawa makanan. Silahkan, silahkan" Irene tersenyum membuka kantong plastik berisi berbagai macam cemilan. Arifin dan Dani menyerbu makanan itu seketika. Ian hanya memandang dari jauh. Irene kemudian memanggil Ian.
   "Pak, gak mau? Lagi diet?"
   "Deluan aja. Saya nanti" jawab Ian membalikkan badan menyembunyikan wajahnya yang memerah. Irene berjalan mendatangi Ian.
   "Kalo nanti keburu dihabisin mas Dani, pak. Liat tuh udah kayak kingkong makannya. Ayolah" Irene menarik tangan Ian sambil tersenyum. Hatinya berdesir dengan sentuhan lembut tangan Irene. Ian tidak bisa menolak. Ia mengikuti Irene dengan tenang. Irene menyodorkan es krim coklat ke Ian dan disambut senyuman manis.
   "Eh, Ren, saya mau nanya" kata Dani mengganggu kemesraan Ian dan Irene. Irene hanya mengangguk.
   "Kamu punya pacar, gak?" tanya Dani tanpa basa basi.
   "Nggak ada, mas. Kenapa?"
   "Wah kebetulan. Berarti saya bisa daftar ya?" goda Dani.
   "Daftar aja, mas. Saya kasih formulirnya besok" jawab Irene menanggapi candaan Dani.
   "Beneran, nih? Asik. Denger ya, bapak-bapak, Irene punya gua" ujar Dani diikuti tatapan tajam Ian. Ingin sekali ia meninju Dani sekarang tapi hal itu tak mungkin. Tak ada alasan untuk menghajar lelaki itu kecuali kecemburuannya. Irene masih bercanda tawa dengan Arifin dan Dani sementara Ian memilih diam.

    Jam sudah menunjukan pukul 16.50 sebentar lagi jam pulang. Arifin dan Dani pergi ke salah satu perumahan yang sistemnya sedang error. Ian seharian menelpon supplier yang telat mengirimkan beberapa barang. Irene hanya melihat-lihat berita KPOP terbaru di komputernya. Tak lama Ian menutup telpon dengan kesal. Lalu melihat Irene yang tersenyum sendiri menatap wajah laki-laki anggota boygroup Korea, putih, mancung, berambut hijau neon di layar komputernya. Ian terhipnotis dengan keindahan didepannya saat ini. Ia merasakan dadanya menghangat melihat senyum manis itu. Ia ingin lebih lama memandang wajah Irene dan sekarang sedang memikirkan cara agar bisa menghabiskan waktu dengannya. Suara Irene membuyarkan lamunannya.

    "Pak, udah jam 5. Saya pulang ya?"
    "Oh. Ehmm kamu ada keperluan?"
    "Nggak sih, pak"
    "Terus kok pulang cepet?"
    "Kerjaannya udah selesai. Bapak mau kasih saya kerjaan lagi?"
    "Nggak. Saya tadi mau ajak kamu makan. Ada restoran bebek enak. Tapi kamu mau pulang, ya nggak jadi" ujar Ian sedikit kecewa.
    "Oh bilang, dong. Kalo soal makanan emang saya pernah nolak? Ayo, pak" Irene kini bersemangat mendengar restoran disebut. Tapi ia juga merasa senang karna ia bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Ian.

     Ian memacu mobilnya di tengah padatnya kota menuju restoran bebek langganan. Motor Irene ditinggal di kantor, sepulang makan baru akan diambil. Setelah sampai dan memesan dua menu bebek goreng Irene memandang sekeliling resto. Ian duduk di hadapannya memainkan ponselnya. Irene memulai percakapan basa-basinya seperti biasa. Melontarkan humor konyol yang membuat Ian tertawa lepas. Ian tidak pernah tertawa selepas ini dengan siapapun. Bahkan istrinya juga tak pernah melihat Ian tertawa seperti itu.

    Dian, adalah perempuan yang cantik namun agak keras. Gaya bicaranya terlalu kasar, kepada siapapun, bahkan ibunya sendiri. Pertama kali bertemu dengan Adrian di sebuah mall saat Adrian masih menjadi karyawan baru. Adrian menyukai Dian dan mulai mengajaknya berkenalan. Tanpa waktu lama Adrian menyatakan perasaannya dan mengajak Dian berpacaran. Tentu Dian setuju karna ia juga menyimpan perasaan yang sama.

    Selama pacaran, Dian sering kali menunjukan sisi kasarnya pada Adrian. Ia memaki setiap orang yang mengusiknya, tak jarang mengeluarkan umpatan yang tidak pantas. Beberapa kali Adrian meminta agar Dian menghentikan kebiasaan buruknya itu tapi Dian tetap saja keras kepala. Dian tidak mau berubah demi Adrian atau siapapun karna menurutnya orang yang mencintai dia harus menerima bagaimapun sikapnya. Adrian sendiri tak mau ambil pusing. Ia menyukai Dian tapi ia tak pernah mengatakan cinta padanya.

    Irene menikmati bebek gorengnya dengan lahap. Ia juga mulai membicarakan hal yang serius dengan Ian. Menanyakan bagaimana perasaan Ian meninggalkan anak dan istrinya bertahun-tahun.

    "Kangen, lah. Saya gak tau pertumbuhan anak saya kecuali dari istri saya. Dan kadang istri saya juga telat ngabarin kalau saya gak tanya" jawab Ian dengan nada sedih. Irene simpati mendengarnya.
    "Tapi kalau lebaran atau cuti, bapak pasti pulang, kan? Bisa ketemu lagi. Lepas kangen sama anak istri" hibur Irene.
    "Lepas kangen sama anak. Saya lebih kangen anak saya"
    "Mamahnya?"
    "Gak terlalu"
    "Heleh, namanya suami pasti kangen istrinya, kan"
    "Tapi saya juga seorang ayah. Ayah pasti kangen anaknya"
    "Yadeh yadeh" Irene kembali menyantap bebek gorengnya. Ian mengangkat kepalanya dan mengajukan pertanyaan ke Irene.

    "Ren, menurut kamu, kalau seorang yang sudah menikah jatuh hati ke orang lain, itu gimana?" Irene agak terkejut mendengar pertanyaan Ian. Ia tak mengerti maksud di balik pertanyaan itu.
    "Tergantung, pak" jawab Irene.
    "Tergantung apa?" tanya Ian lagi mewanti-wanti jawaban Irene.
    "Kalau sekedar suka aja, ya gak apa-apa menurut saya. Tapi kalau sampai dekatin dan selingkuh, itu kurang ajar"

     Ian tak mampu berkata-kata. Ia tahu Irene adalah gadis bermartabat sehingga ia tidak terkejut mendengarnya. Namun, tetap saja ia merasakan sakit dihatinya. Ia merasa telah ditolak bahkan sebelum meminta.


*Gimana tanggapan kalian soal Adrian? Mungkin gak yah Irene bakal menerima Adrian? Ditunggu komen, kritik dan sarannya. Terima kasih*

Burning DesireWhere stories live. Discover now