1 - nine dangerous dorks

Depuis le début
                                    

"Hei, Nak. Kalau kau tidak segera mengatakan namamu, aku tidak akan segan—"

"Tunggu dulu. Diam sebentar," potong Max cepat-cepat.

Greta menatapnya kesal. "Apalagi?"

"Sepertinya aku mendengar sesuatu."

Bukan Max namanya jika tidak punya timing sempurna guna menambah efek dramatis. Tepat setelah ia mengatakan itu, kaca-kaca gedung pertokoan yang barusan diintainya pecah secara beruntun disusul oleh kemunculan lidah api. Orang-orang di seputar jalan refleks berteriak panik; tak terkecuali Greta Casales. Max praktis bebas pengawasan saat polisi itu berlari menuju lokasi gedung. Oh, rupanya mereka punya destinasi yang sama, tetapi Max tidak yakin alasan mereka juga senada.

oOo

Sepanjang hidupnya mengabdi menjadi teroris—yang sebenarnya belum lama-lama amat—Atlas paling benci ketika disuruh meledakkan sesuatu dengan bom molotov. Maksudnya, bom itu bahkan tidak meledak! Hanya menimbulkan sedikit kebakaran dalam jarak tertentu tergantung jumlah takarannya.

Berdasarkan hal tersebut, Atlas jadi terpaksa menyeret-nyeret sekarung bom molotov selama ia membakar ini-itu di dalam bangunan. Alpha, temannya yang bertanggung jawab atas segala bom rakitan yang mereka punya, berkali-kali bersumpah kepada Atlas kalau ia sudah menggunakan media paling ringan sebagai tubuh bom molotovnya. Memang betul botol beling itu ringan. Namun, lain ceritanya jika ia harus mengangkut puluhan botol beling sekaligus dengan risiko 'pecah berarti terbakar'.

Wajah Alpha harus lebih sering dirajam surat protes.

Selang beberapa menit berlalu, jejeran toko-toko di lantai satu telah berubah menjadi barisan pemanggang raksasa. Api menyulut liar, mengusir orang-orang agar menjauhi teritorinya.

Seringai puas terlukis bangga di balik masker oksigen Atlas. Baru saja ia hendak berbalik saat telinganya menangkap suara tangisan.

Aneh. Ia mengernyit. Apakah apinya kurang besar untuk mengganggu paru-paru mereka? Keingintahuan Atlas pun mendorongnya untuk mengecek salah satu toko yang berjarak paling dekat dengannya. Asap tidak jadi masalah sebab ia mengenakan alat bantu pernapasan dan kacamata pelindung, begitu pula dengan kostumnya yang didesain anti-api.

Sesaat setelah Atlas menemukan sumber tangisan tersebut, ia tercenung.

Adalah seorang anak-anak, tampak berusia tidak lebih dari tujuh tahun atau bahkan kurang. Tubuh kecilnya yang terbalut kain tipis bersembunyi di balik sebuah manekin gosong—pertahanan terakhirnya dalam menghalau lidah api yang semakin ganas. Dan yang lebih mengenaskannya lagi: ia sendirian. Tidak ada seorang pun di sana yang akan menemaninya terbakar.

Tangis si bocah mengeras ketika matanya menemukan sosok Atlas di luar toko; kentara sekali sedang berusaha menarik perhatian si pemuda supaya berperan menjadi pahlawan dan menyelamatkannya. Sayang, harapan tinggal harapan. Atlas bukanlah tokoh baik di kehidupan anak itu maupun di kehidupan sebagian besar orang. Dalam satu gerakan cepat, Atlas beranjak pergi, mengabaikan sepenuhnya tangisan pilu si bocah malang sebagaimana ia mengabaikan sisi kemanusiaannya.

Bagi Atlas yang sudah sering menonton penderitaan seseorang, kejadian barusan dapat dilupakannya semudah membalik telapak tangan. Fokusnya kembali berkumpul dan ia sudah menetapkan target area selanjutnya: tangga. Dalam peristiwa kebakaran atau bencana lain, tangga merupakan akses turun-naik yang jauh lebih aman dari lift—Atlas sudah memperkirakannya.

Mereka kira mereka akan selamat, tetapi Atlas telah berdiri di dasar tangga. Setelannya yang mencolok dan mencurigakan pastilah menjadi alasan utama mengapa orang-orang itu mendadak berhenti di tengah jalan.

heart of terrorOù les histoires vivent. Découvrez maintenant