16. Red Velvet: The First and Last Warning

Start from the beginning
                                    

Laki-laki itu mengerjap tatkala mendengar langkah kaki seseorang, diikuti dengan gemerisik plastik. Mengernyit, dia menekan tombol pause. Damar pun turun dari ranjang, kemudian menyingkap sedikit tirai jendelanya untuk melihat.

***
Ranan tengah melatih kedua kakinya untuk berjalan ketika dia melihat alarm komputernya berkedip-kedip memberi tanda merah. Was-was, dia tergesa-gesa kembali pada kursi roda untuk secepatnya pergi ke lantai dasar. Alarm itu akan selalu nampak tiap kali ada orang asing yang masuk tanpa ijin ke rumah sewaktu larut malam.

Beberapa saat, laki-laki itu telah sampai di lantai dasar setelah pintu lift terbuka. Sangat pelan, Ranan mengarahkan kursi rodanya ke ruang tengah. Samar-samar dia juga mendengar bunyi berisik plastik. Leher Ranan sedikit menjulur untuk melongok. Dan saat itulah dia mengangkat alis.

Gadis itu—Tiara sedang berusaha keras membuka ikatan plastik yang entah berisi apa. Tampaknya ikatan itu terlampau rapat sehingga sangat susah dibuka. Ranan juga melihat Tiara mengigiti bibir dan menampakkan ekspresi kesal akibat tidak sabar.

Makanan apalagi yang mau dia ambil? Ranan membatin lalu menyilangkan tangan serta memiringkan kepala.

Berkali-kali mencoba membuka ikatan plastik tapi tidak berhasil—bahkan sempat melukai ujung jarinya, Tiara akhirnya menyerah. Dalam benaknya terlintas sebuah ide. Sebelum melakukan ide itu, dia menyempatkan diri mengedarkan pandangan ke sekeliling—memastikan kalau tidak ada orang yang sedang melihatnya saat ini.

Ranan mengangkat alis ketika Tiara mulai menyobek ujung plastik dengan giginya. Sialnya, gadis itu terlalu bersemangat menggigit sampai-sampai sobekan yang menganga lebih lebar dari seharusnya. Sontak, kacang merah di dalamnya tumpah ruah keluar, menimbulkan bunyi berisik. Kacang-kacang itu tercerai berai, tersebar ke sana kemari. Tiara kelimpungan panik lalu merangkak memunguti. Dia menaruh cepat sebagian kacang yang masih dalam plastik, tapi karena kurang hati-hati, bungkusan itu jatuh pula menambah jumlah kacang yang berserakan.

Oke, selain kurang waras, dia juga bodoh, batin Ranan. Matanya seketika melebar karena tidak menyangka Tiara juga merangkak ke sisi di mana dia bisa melihat Ranan. Gadis itu menoleh, lalu terhenyak—suaranya persis seperti orang cegukan.

Mengabaikan Tiara yang membeku akibat salah tingkah, Ranan menggerakkan kursi rodanya hingga bisa lebih jelas melihat kekacauan yang telah gadis itu buat. Kacang-kacang itu akan sangat membahayakan kalau dibiarkan sampai besok pagi, khususnya untuk Irene. Dia bisa saja terpeleset. Untunglah ketika tumpah tadi bunyinya tidak membangunkan penghuni yang lain. Sekarang Tiara harus membereskan semuanya.

Apa dia bisa? Ranan mengernyit mengingat satu hal: selain kurang waras, satu tangan gadis itu tengah dibebat. Saat Ranan menoleh, Tiara balas memandangnya—memasang wajah menyesal sekaligus bertanya. Apa yang harus mereka lakukan?

"Ambil sapu," perintah Ranan. Mereka tidak mungkin menggunakan penyedot debu. Berisik.

Tiara mengguk cepat. Dia langsung berdiri, hendak melakukan apa yang Ranan suruh. Tapi sedetik kemudian, gadis itu menoleh lagi pada Ranan. Raut mukanya bingung. Dia tidak tahu di mana sapu diletakkan.

Apalagi Ranan.

***
Hari Sabtu. Redinata agak renggang memasuki Jumat dan akhir pekan. Memang masih ada materi yang diajarkan, hanya saja tidak sekaku hari-hari efektif seperti Senin sampai Kamis. Siswa-siswa senang karena mereka bisa pulang lebih awal, dan seringkali Jumat atau Sabtu diisi dengan kegiatan di luar pengajaran. Misal Sabtu ini di mana lewat speaker yang dipasang di tiap kelas, kepala sekolah mengumumkan kalau mereka semua akan bekerja bakti membersihkan lingkungan.

"Seriously, what?" Yanet mengernyit sebal. "Di sini tidak ada cleaning service?"

"Kenapa kau tanya aku?" balas Logan yang rupanya sudah membawa lap dan botol penyemprot pembersih kaca.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWhere stories live. Discover now