32. Clementine and Another Game: Blueberry Cupcake

1.4K 173 5
                                    

Tiara menyingkir jauh supaya tidak ada yang melihat. Dia tahu ini sangat menyedihkan. Meskipun baru saja melewati hal seperti ini, Tiara tidak akan pernah terbiasa. Tiara tidak ingin terlihat lemah. Segala sesuatu yang telah dia pelajari sejauh ini adalah supaya dirinya menjadi istimewa. Supaya orang-orang memperhatikannya. Supaya mereka menyukainya.

Namun kini semuanya sulit. Masalah datang bertubi-tubi. Saling berbenturan dan berdesakan. Belum sembuh benar ingatannya mengenai Bertha, dia gagal lagi menyelamatkan seorang teman. Bahkan sebelumnya dia bersumpah tidak ingin merasakannya lagi. Karenanya Tiara membuat permohonan. Dia akan jadi pribadi yang lebih baik agar terhindar dari luka yang amat menyakitkan ini.

Gadis itu duduk di sisi sempit antara gedung olahraga dan tembok pembatas sekolah. Ketika dia keluar gedung tadi, hujan deras mengguyur. Seolah-olah langit memahami keadaannya. Sebab tirai air yang berjatuhan itu akan menyamarkan tangisannya. Alih-alih menyerapi rasa dingin yang menggetarkan tubuh, pelukannya pada diri sendiri bertujuan untuk menekan sakit di ulu hati.

Tiara telah kalah. Kecerobohannya telah membuat Sofi yang tidak tahu apa-apa dicelakai.

Bunyi sebuah kaleng yang dilempar ke tempat sampah mengagetkan Tiara. Saat menoleh ke samping, dia dan orang yang barusan membuang sampah itu pun sama-sama membelalak terkejut. Matanya melebar serta tubuhnya mematung beberapa detik.

"Apa yang kau lakukan di situ?" tanya Luki yang sama sekali tidak menduga Tiara bersembunyi di sana. Apalagi bajunya.. basah? Akibatnya atasan seragam mereka yang memang tipis sekarang menunjukkan samar lapisan-lapisan di dalam. Kain itu juga makin melekat, menunjukkan jelas lekuk ramping gadis itu.

Luki mendadak kelabakan.

"Tu-tunggu di situ!" suruhnya lalu melesat pergi.

Berkat reaksi hebohnya Tiara berhenti menangis. Menghela napas panjang, kakinya kemudian berselonjor, tidak peduli air memercik pada sepatunya yang memang seratus persen basah. Bak dalam toilet tadi dalam keadaan penuh. Tiara langsung merendam diri ke dalamnya tanpa melepas apa pun—dia yakin itu yang si Pengirim surat kaleng mau. Karena hawa daerah ini memang dingin, airnya juga bersuhu rendah. Kepalanya berdenyut-denyut seketika.

Sekarang gadis itu memeluk kakinya sendiri, menopang dagu menggunakan lutut.

Tidak lama berselang, Luki kembali. Tampaknya dia berlari karena kini napasnya terengah-engah. Rambut dan beberapa bagian bajunya pun basah. Dia menjereng jaket yang lebar kemudian memakaikannya pada Tiara. Mendengus, laki-laki itu ikut-ikutan duduk. Dia juga membawa dua kaleng kopi susu lalu memberikan salah satunya pada Tiara.

"Kau bolos ya?" tebak Luki curiga.

Tiara tersenyum sekilas. "Kelihatannya begitu ya?"

Luki menekan bibir selanjutnya membuka tutup kalengnya sendiri—itu kaleng kopi ketiganya untuk hari ini. Dia berdecap setelah meneguk.

"Aku tidak sedang akan menceramahimu," katanya. "Aku bisa saja lapor guru tadi, kau tahu?"

Tiara lagi-lagi tersenyum. "Aku tahu."

"Jadi kau benar-benar bolos? Cuma duduk sendirian di sini?"

"Ya..," jawab Tiara singkat. Dia mengambil kaleng kopi yang diberikan Luki kemudian akan membukanya. Tapi mungkin karena terlalu menggigil, jari-jarinya teramat lemas untuk digunakan.

Luki mendadak mengambilnya. Dia membukakan tutup kaleng itu untuk Tiara, lalu mengembalikannya lagi tanpa berkata apa-apa.

Tiara memandang Luki tanpa laki-laki itu tahu. Dia tahu kalau semua orang dalam rumah Irene adalah orang-orang yang baik, tapi baru kali ini Tiara memperhatikan Luki dari dekat. Dia manis. Memang ada sisi maskulin yang membuatnya lumayan disukai gadis-gadis kelasnya, tapi menurut Tiara dia lebih condong pada sifat manis. Ditambah lagi Luki tidak pintar mengekspresikan perasaan. Sejauh ini dia selalu kalah pada gengsi.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWhere stories live. Discover now