EPILOG

2.1K 185 7
                                    

Wanita itu berjongkok untuk merapikan ikatan pita baju sang Bayi. Tubuh mungil Ceri berdiam manis meski bola matanya yang sejernih air menatapnya penuh binar.

“Di mana ayah kamu, nak?” gumam Irene pelan sembari mengusap pipi gembung Ceri.

Sudah hampir tiga hari semenjak Andy tidak memberinya kabar apa pun. Irene merindukannya sangat. Terlebih lagi batinnya terganjal dan sesak memikirkan Ranan. Irene selalu memikirkannya bahkan ketika terlelap.

Pertemuan mereka yang terakhir kali.. Tidak henti-hentinya Irene merutuki diri karena gagal berlaku semestinya.

Ranan berjalan.. Demi Tuhan, matanya kali ini tidak menipunya. Laki-laki itu bisa berpijak menggunakan kakinya sendiri bahkan menghampiri Irene. Sebagai seorang ibu, bagaimana mungkin dia tidak mampu menekan ketakutannya?

“Tunggu di sini sebentar, Sayang. Mama ambil kunci dulu,” katanya kemudian pada Ceri lalu meninggalkan bayi itu sendirian di ruang tamu.

Seseorang hadir tanpa diduga melewati ambang pintu depan yang terbuka sedikit. Telapaknya mendorong daun pintu selanjutnya masuk. Pandangannya mengedar, memperhatikan setiap detil yang bisa dia ingat sembari membandingkannya dengan masa yang lampau. Berbeda, simpulnya membatin. Rumah itu jauh lebih berwarna sekarang.

Wajahnya menoleh ke samping saat Ceri mengayunkan mainan serupa maracas. Benda itu berisi bulatan-bulatan kecil mirip pasir yang berbunyi berisik ketika digerakkan. Perlahan dia mendekati kereta bayi ungu yang ditempati Ceri lalu berjongkok di sebelahnya. Pandangan keduanya bertemu dan Ceri tampak tersenyum dengan mulut membuka. Bayi itu sedang tersenyum, tapi tidak bersuara.

Mirip

Sekejap kemudian Irene kembali. Namun ketika dia mendapati orang lain berada dekat Ceri, langkahnya terpaku. Wanita itu melihatnya: sisi samping gadis yang memiliki rupa amat familiar. Hatinya mencelos mencoba menerka. Dia pun mendekat setelah menelan ludah.

“Halo, Bibi.” Gadis manekin itu menyapa tanpa mengalihkan perhatiannya dari Ceri. Sekarang bayi mungil itu bahkan menggenggam jari telunjuknya. “It’s so warm here..”

“Meria..”

Barulah gadis itu menoleh. Irene tertegun. Kali ini tidak sama seperti saat Tiara datang ke rumah itu untuk tinggal. Irene bisa dengan mudah menyembunyikan kegetiran yang merayap di jiwanya. Tapi tidak ketika dirinya berhadapan dengan kembar satu ini. Padahal gadis itu tidak melakukan apa pun, tetapi seolah-olah kebalikannya. Dia selalu mampu menyelisik semua hal yang sengaja disembunyikan.

Dia terlalu mirip dengan…

“Ernest,” sebut Ratimeria yang mendadak menyentakkan Irene. Entah kebetulan atau bukan, gadis itu seolah sengaja menyambung kalimat yang seharusnya tersembunyi rapi di benak Irene. “Ya, aku mungkin mirip dengannya..”

Gaun terusan yang dia kenakan nyaris menyentuh lantai bahkan ketika bangkit berdiri. Tubuh kurusnya lantas berubah haluan menghadap Irene. Semua jari-jari tangannya saling melipat di depan perut.

“Tapi teruntuk mama.. Chrysanteelah yang paling mirip..” Dia berkata lagi melalui manik mata yang menyorot sendu. “Kau tidak pernah menyukai mereka kan, Bibi? Karena itu kau tidak bertindak apa pun meski tahu ada yang salah dengan Chrysantee.”

Irene tanpa sadar mengepalkan tangannya kuat.

“Apa yang kamu bicarakan nak?”

Liar.” Ratimeria berbisik—terkesan memotong. Pupil Irene sampai melebar karena gadis itu seperti sedang memancingnya. Namun kedipan pelan Ratimeria juga secara tidak langsung memengaruhi keraguan pada lawan bicaranya.

Ratimeria tidak mengucapkan apa pun. Telinganya sendirilah yang mencoba menghasut Irene.

You’re not a cheerful person like those two.” Ratimeria mengusap pegangan dorong kereta bayi Ceri. “Tapi harus kuakui kau begitu keras berusaha menjadi seperti mama.. Saat Yanet bercerita seperti apa dirimu, aku sempat tidak percaya..”

Irene tersenyum sinis. “Nak, aku tidak ragu dengan ingatanmu tentangku. Tapi semua orang bisa berubah, apalagi waktu sudah terlewat begitu lama.”

“Termasuk apa yang kalian lakukan pada Ranan?”

Lidah Irene mendadak kebas. Kebekuan merambati hampir semua celah dari setiap senti tubuhnya. Pecahan-pecahan kaca tuduhan dilesakkan ke rumpang hati Irene. Wanita itu terpaku, menyadari kalau selimut tak kasat mata perlahan membuat sekujur badannya mati rasa.

Lama gadis itu membiarkan keheningan panjang di antara keduanya. Ratimeria memilin rambutnya sendiri. Seumpama boneka, dia tidak membiarkan segurat emosi pun tampak. Sementara Irene yang bergeming tegang, memiliki banyak rona yang bisa dimaknai dengan mudahnya.

I’ve met him once before this..,” ujar Ratimeria yang tengah mendongak—memperhatikan anak-anak tangga yang akan mengarahkannya ke lantai atas. “Saat aku terjatuh ke lubang yang dalam.. dia menyelamatkanku—karena Melisma lari untuk meminta pertolongan. That warm hand..”

Melihat Irene masih bergeming, Ratimeria menghela napas panjang. Kemudian melalui pandangan yang penuh sesal, gadis itu menyayangkan apa yang telah Irene perbuat.

If you do love him.. You will never let him stay like a puppet in the prison.”

Pertahanan terakhir Irene runtuh seketika. Tangisnya pecah dan badannya beringsut tersungkur ke lantai. Bahkan tanpa Ratimeria memperjelas kata-katanya, Irene bisa memahami. Alasan kenapa laki-laki itu menatapnya nanar dan sedih.. juga alasan kenapa dia berkata jika tidak kembali..

Ranan mengetahui semuanya.

Irene selalu menyesal. Semua rasa bersalahnya tidak ada artinya lagi.

Ratimeria berbalik pergi. Sorotnya kosong meninggalkan kekacauan yang dia ciptakan.

Gadis itu menyelinap tanpa suara seakan tak ingin meninggalkan jejak.

Seolah keberadaannya barusan hanya halusinasi—sebatas mimpi di siang hari.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWhere stories live. Discover now