48. Tea Party Night

1.3K 163 12
                                    

Day 1
(7.14 PM)

Sofi dan laki-laki itu meninggalkannya setelah membiarkan Tiara termangu. Gadis itu tidak bicara apa pun, termasuk dalam hati. Mata itu berkedut tidak percaya ke arah sosok yang Sofi sebut sebagai Damar. Laki-laki itu jelas mendengarnya, namun sedikit pun tidak mengucapkan bantahan. Tiara juga hanya bisa melihat manik mata kelam itu balas menatapnya dengan semburat yang sukar diartikan.

Tiara membisu. Segala macam pikirannya berkecamuk—amat kusut dan membingungkan.

Kenapa harus Damar? Kenapa harus sejauh ini setelah laki-laki itu telah sangat baik memperlakukan Tiara? Bagaimana mungkin dia bisa bergabung dengan orang-orang yang menikam Yanet? Bagaimana keadaan gadis itu sekarang? Mungkinkah seseorang menemukannya lalu membawanya cepat-cepat ke rumah sakit? Dan juga.. kalau benar laki-laki itu adalah Damar, apa dia juga terlibat tentang kematian Bertha?

“Kamu nggak salah dengar,” celetuk Euodia.

Tiara menoleh menatapnya, meski tetap termangu—lumayan tidak bisa berpikir jernih.

“Tapi ini belum seluruhnya,” kata gadis itu lagi. “Kalau kamu pikir hanya dua orang itu yang ada di sini, kamu salah.”

Tiara telah mengetahuinya. Ingatannya cukup segar, mengulang kembali saat dirinya hendak melawan ketika dibawa paksa.

Seakan mampu menebak apa yang dipikirkan gadis itu, Euodia menambah lagi, “Mungkin kamu familiar dengan beberapa orang lagi.”

***
(10.36 PM)

Ponsel Damar telah beberapa kali bergetar. Siska, juga teman-teman yang tergabung dalam kepanitiaan mencoba keras menghubungi. Damar sengaja tidak langsung mengangkatnya. Laki-laki itu cukup lama duduk dalam ruangan yang diperuntukkan sebagai kamarnya dalam bangunan penjara tersembunyi tersebut.

Tidak banyak yang tahu mengenai keberadaan tempat itu. Selain karena lokasinya yang berada jauh di dalam hutan yang penuh rumor menakutkan, penjara yang polisi cari-cari selama ini juga bertempat di bawah tanah. Para tawanan tidak akan bisa kabur, dan orang luar takkan bisa menemukan mereka.

“Gimana kalau kita balik sekarang?” tanya Sofi yang mendadak menerobos masuk tanpa mengetuk lebih dulu. “Aku bosan di sini, Kak.”

Damar menatapnya selama beberapa saat. Dia tidak lagi mengenakan penutup kepala. Benda itu tergeletak di atas meja, bersebelahan dengan ponselnya yang baru saja berhenti bergetar. Sorot kelamnya telah bertahan berhari-hari. Emosi cerahnya luruh. Dia merasa tidak bisa lagi bersikap seolah lupa pada kejahatan yang telah mereka lakukan dalam hitungan tahun.

Terlebih lagi mengingat gadis yang termangu kala memandang Damar beberapa saat lalu.

Damar memejamkan mata. Tangan kanannya terkepal kuat.

Mereka akan melakukan skenario yang sama seperti yang sudah-sudah: Sofi akan berpura-pura tersesat, sedangkan Damar yang menemukannya hampir masuk ke dalam hutan.

“Jangan khawatir. Biar ayah yang mengurus semuanya,” kata Sofi melihat kegelisahan Damar.

Lagi-lagi Damar menatap Sofi dengan emosi yang sulit dimaknai. Sewaktu berada di sekolah, Sofi terus berlagak tidak mengenalnya, demikian sebaliknya. Damar selalu tahu tiap kesulitan yang dialami gadis itu, tapi alih-alih meminta pertolongannya, Sofi menciptakan dinding. Gadis itu menikmati amarah dan dendam di hatinya sementara diam-diam berencana untuk membalas.

“Apa kamu sebegitunya benci dia?” tanya Damar datar—suara yang pertama kali dia lontarkan setelah membisu seharian. Memang dia akui, selama ini dia memilih diam karena tak pernah-pernah peduli. Hanya untuk kali ini saja.. “Dia nggak pernah mengganggu kamu kan?”

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWhere stories live. Discover now