17. Rainbow Cake: Killed Pawn

1.4K 178 6
                                    

Seseorang diam-diam keluar rumah, melalui jendela kamarnya di lantai dua. Setelan jaket dan celana hitam yang mengikuti lekuk tubuh membuat dia leluasa bergerak turun ke bawah tanpa kesulitan—juga karena dia terbiasa melakukannya. Beberapa helai rambut merahnya terlepas dari ikatan dan keluar melalui tudung. Barulah ketika telah memijakkan kaki di atas rumput pekarangan, dia menarik tali tudung setelah memasukkan lagi rambut poninya yang menggelitik pipi. Tudung hitam jaket itu mengerat, kemudian kedua talinya diikat kuat.

Hati-hati, tanpa lupa mengawasi sekitar, Yanet keluar dari rumah. Menyusuri jalan yang menurun, dia juga sengaja mengambil jalan di pinggiran yang miring dan penuh ilalang supaya keberadaannya tidak disadari siapa pun. Pukul setengah tiga dinihari ketika gadis itu menyelinap keluar, tentunya dengan memastikan kalau Ranan tidak akan menyadarinya.

Yanet berlari cepat menuju sekolah. Dengan mudahnya dia membuka gembok pagar dan masuk leluasa ke dalam. Langkah gadis itu sedikit memutar bangunan, dan beberapa saat kemudian sampai ke green house. Dia menghampiri pintu gudang lalu masuk ke sana karena memang pintunya tidak pernah dikunci.

Yanet mengeluarkan senter kecil dari sakunya, selanjutnya mulai mencari.

Di mana?

Dia harus mendapatkan benda kecil itu, sebelum orang lain menemukannya.

***
Gadis itu bangun saat sadar sekujur tubuhnya menggigil akibat dingin. Menoleh ke arah jam weker, dia mendapati sekujur tubuh berkeringat. Lemas, dia lalu berusaha menegakkan punggung setelah menyibakkan selimut. Kenapa semua bagian badannya terasa amat sakit ketika digerakkan?

Bertha turun dari ranjang lalu menghidupkan lampu kamar. Dia duduk persis di depan cermin di mana gelas kosong dan sebotol air mineral selalu disediakan di atas meja. Bahkan ketika dia akan menuangkan air, tangan gadis itu gemetaran. Sebagian air itu bahkan tumpah. Dengan napas tidak beraturan, Bertha minum. Ketika diletakkannya lagi gelas, dia menatap wajahnya sendiri.

Pucat. Amat pucat seperti mayat ditambah warna gelap yang samar pada kantung mata.

Haruskah dia pergi ke dokter saat ini juga? Seluruh tulang-tulangnya terasa amat nyeri ketika bergerak—terutama bagian kaki.

Bertha sedikit menyingkap rok tidur untuk melihat bekas luka akibat jarum suntik kemarin. Titik merah samar di sana tidak tampak lagi. Namun sebagai gantinya dia menemukan warna kebiruan yang semakin menyebar. Apakah penyebab dari sakit yang dirasakannya berasal dari luka itu? Atau apakah dia terkena demam berdarah atau semacamnya?

Gadis itu meraih ponselnya yang masih berada di atas ranjang. Sebentar lagi pagi. Meski begitu Bertha tidak ingin membangunkan bibi pembantu yang menemaninya. Bertha belum terlalu mengenalnya hingga sungkan merepotkan.

Setelah mengirimkan chat singkat, Bertha beralih kembali ke tempat tidur. Saat itulah dia mendengar bunyi sesuatu yang tidak sengaja terjatuh. Bunyi itu terdengar amat dekat sehingga Bertha bertanya-tanya apa sebabnya.

Kamar Bertha berada di samping rumah, di mana salah satu sisinya berdinding kaca yang langsung menghadap keluar, yakni pada pekarangan. Kamar itu juga dilengkapi dengan pintu geser yang memudahkannya keluar saat dia ingin menghirup udara segar dalam-dalam. Bertha suka sekali bangun pagi. Hanya saja kali ini, dia tidak menyangka akan terbangun gara-gara penyakit yang entah datang darimana.

Bertha melangkah keluar, sedikit was-was. Kepalanya meneleng ke samping, di mana dia melihat salah satu pot yang hancur.

Kenapa bisa jatuh?

Sebelum mencari tahu sebabnya lebih jauh, segaris benda yang mengkilap mendadak muncul di depannya. Benda itu langsung melingkar erat ke lehernya dan ditarik kedua sisinya yang entah sejak kapan muncul di belakang gadis itu. Bertha terlambat, biarpun hanya terkesiap. Suaranya tercekat syok.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWhere stories live. Discover now