14. Pink Marshmallow

1.5K 195 3
                                    

Dua hari berselang. Atmosfer menjadi lebih hangat berkat datangnya Om Andy yang selalu terlihat mesra dengan Irene. Mereka bahkan tidak sungkan semeja dengan pasangan itu ketika makan malam tiba. Orang yang tidak tahu akan menyimpulkan mereka sama seperti keluarga pada umumnya saat melihat derai tawa bergulir dari ruang tengah.

Yanet menyumbang paling banyak topik, menceritakan kisah hidupnya yang penuh drama di negara kelahirannya. Logan berusaha mengubah persepsi Luki, yang mana dia tidak ingin dicap sebagai hulk biarpun mereka sepantaran. Tapi usaha itu justru membuat Luki makin gelagapan karena Logan kadang menepuk bahunya keras. Sementara itu, Tiara suka sekali memperhatikan mereka semua sambil mengunyah telur puyuh dari kuah semur.

Selesai mengunyah karena merasa kenyang, tangan Tiara kemudian beralih mengambil segelas air lalu meminumnya. Saat itulah perhatian Om Andy terarah pada gadis itu.

"Tiara," panggil pria itu yang lantas tidak hanya membuat orang yang dipanggilnya menoleh, tapi juga semuanya yang ada di meja. "Bagaimana kesannya selama tinggal di sini?"

Om Andy sudah tahu mengenai kondisi Tiara, jadi sebenarnya dia tidak mengharapkan jawaban langsung. Gerak-gerik gadis itu lebih dari cukup untuk mengartikan suasana hatinya.

Tiara meletakkan gelasnya lagi ke meja. Gugup, dia membalas tatapan lembut suami Irene lalu menunduk sekilas dan menambahkan seulas senyum hangat. Senyum itu menular. Semuanya—bahkan Luki yang selalu tampak mendung seharian, tampak cukup puas melihat senyum itu. Mereka tidak menyadari ada kegetiran terselip pada Om Andy barusan. Pandangan pria itu sedikit menerawang saat berbicara lagi pada Tiara.

"Semakin lama, kamu semakin mirip ibumu.."

Irene dan Tiara tertegun sesaat. Karena Irene pintar menyembunyikan perasaan sesungguhnya, perhatian mereka tidak beralih dari Tiara. Gadis itu menatap Om Andy dengan sorot yang sukar diartikan. Air mulai berlinang di pelupuk matanya. Dia tidak sedikit pun menyangka sosok hangat itu akan disinggung malam ini. Apalagi pria itu berkata padanya bahwa mereka mirip satu sama lain.

Tidak bisa menyembunyikan kegugupannya, gadis itu mendorong mundur kursi tempatnya duduk kemudian bangkit berdiri.

"Ada apa?" tanya Yanet.

"Tiara.." Irene bahkan berbisik menyebut namanya.

Menanggapi ekspresi cemas mereka, Tiara menyunggingkan senyum demi menyampaikan dirinya baik-baik saja. Yanet yang merasa ada yang tidak beres dari gadis itu lalu mengikuti langkahnya yang bergerak pergi. Sebelum Tiara melewati ambang pintu samping, Yanet menahan tangannya.

"Ada apa? Kau mau ke mana? Mau aku temani?" tanya Yanet.

Tiara menunduk, mengambil ponsel dari saku bajunya. Jari-jari dari tangan kiri gadis itu mengetikkan sesuatu pada layar. Beberapa detik kemudian, dia menyodorkannya pada Yanet untuk dibaca.

(Im fine. Aku mau ke ayunan. Sendirian.)

"Okay..," balas Yanet meski ragu. Dia akhirnya membiarkan Tiara pergi sendirian. Untunglah di saat yang sama, alisnya terangkat begitu melihat Oreo berlari kecil mengikuti.

Tidak berapa lama, Tiara duduk pada kursi ayunan besi yang dingin dengan memeluk kakinya sendiri. Dia tidak menangis. Sebagai gantinya, pandangan gadis itu menyorot kosong. Beberapa menit terlewat tanpa dia bergerak, seperti tengah menunggu. Hal yang menyadarkannya adalah ketika Oreo duduk tepat di bawah bangku ayunan.

Tiara tersenyum samar. Selanjutnya dia menghela napas panjang lalu mendongak. Saat itulah, seseorang di balkon membuat sepasang matanya terpaku.

Tiara belum pernah melihat wajah Ranan secara jelas, karena pertemuan-pertemuan mereka selalu di saat malam, di mana hampir sebagian besar lampu telah dimatikan. Namun Tiara tetap memiliki kesannya tersendiri mengenai laki-laki yang berdiam dalam kesunyian panjang di tempat yang enggan diraih. Seperti saat ini, ketika Tiara melihat sosoknya dari kejauhan, terdapat semburat kesedihan yang amat sangat dalam dirinya.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWhere stories live. Discover now