19. Marshmallow: The Light Getting Lost

1.4K 191 14
                                    


Cahaya matahari menyeruak masuk. Saat Tiara membuka mata, dia melihat partikel-partikel udara yang berterbangan dalam segaris sinar. Dia beralih memperhatikan langit-langit yang terbingkai dalam ukiran menyerupai tumbuhan sulur meski dicat putih pasir pantai. Dindingnya berwarna abu-abu, dengan dipasangi beberapa figura lukisan.

Menyadari tempatnya berada sekarang amat asing, Tiara kemudian menegakkan punggung. Gadis itu menoleh mendapati dirinya tidak tengah sendiri. Ada satu lagi sosok dalam kamar tersebut—seseorang yang duduk di atas kursi roda dalam balutan mantel biru gelap. Dia tengah menatap lurus ke arah utara melalui pintu balkon yang terbuka, biarpun tahu Tiara tengah terbangun.

"Namamu.." Tiara berucap. "Ranan..?"

Laki-laki itu menoleh, dan seketika membuat Tiara terpaku. Meski bukan pertama kali mereka bertemu, sebelumnya Tiara hanya pernah melihat Ranan saat malam dengan minimnya penerangan. Sekarang dia bisa memandang langsung laki-laki itu saat cahaya menyiraminya.

Ranan bagaikan vampir yang mengisolasi diri dalam satu tempat, selalu berdiam dekat perapian. Kulit pucat lelahnya memancar redup, bukan hanya wajah tapi juga pada jemari Ranan yang menumpu pada ujung lengan kursi. Tiara sempat menahan napas saat wajah laki-laki itu beralih untuk balas menatapnya. Sepasang matanya tampak lelah berkat semburat kemerahan samar. Mata itu terkesan amat dalam—menyelidik, waspada dan curiga. Sisanya, semua ukiran lain pada wajah Ranan merupakan estetika rupa simetris yang mampu memesona siapa pun. Alis, hidung, bibir—semuanya.

"Kau tahu di mana ini?" tanya Ranan.

Tiara menggeleng. Dia ingat telah naik sampai ke lantai tiga semalam dan bertemu Ranan. Hanya saja dia benar-benar tidak tahu siapa pemilik kamar yang telah Tiara tempati ranjangnya. Bisa saja itu kamar Ranan. Tapi tidak mungkin hanya ada satu ruang saja di lantai tiga bukan?

"Keluar," kata Ranan kemudian. Satu ucapan yang amat jelas maknanya. Laki-laki itu langsung memutus kontak mata mereka berdua dan beralih lagi memandang keluar balkon.

"Sebentar.."

Ranan menoleh lagi dan mengerjap.

"Sebentar saja..," ucap Tiara pelan seraya menatap Ranan nanar. "Biarkan aku di sini.. sedikit lebih lama."

***
Irene meminta Susan mengecek Tiara lagi saat pagi datang. Pukul enam lebih sedikit saat anak-anak di sana tengah bersiap-siap pergi ke sekolah. Abe, Bagas dan Luki masih sibuk berpakaian dan menata buku, sementara Damar, Yanet, dan Logan telah duduk menghadap meja makan untuk melahap sarapan.

Tidak lama setelah pergi, Susan setengah berlari kembali ke dapur. Wajahnya panik.

"Tiara nggak ada di kamar," katanya.

Yanet dan Logan saling berpandangan. Sontak mereka buru-buru berlari mengecek. Pintu di sana telah terbuka lebar, memperlihatkan bagian dalam yang porak poranda persis kapal pecah. Pecahan-pecahan kaca berserakan di lantai, kursi dan meja belajar ambruk, juga bantal, guling, selimut berada di tempat yang tidak seharusnya.

"Where is she?" gumam Yanet bengong.

"Kopernya masih ada di atas lemari. Dia nggak pergi," kata Irene yang berdiri tepat di belakang Yanet dan Logan. "Kalian lanjutkan sarapan, trus berangkat ke sekolah. Biar bibi dan Susan yang cari dia."

Yanet tampak tidak senang dengan keputusan sepihak yang Irene buat. Namun saat Logan menepuk bahunya, gadis itu menurut. Keduanya—ditambah Damar berbalik kembali ke dapur. Hanya saja Damar yang diam, punya alasan yang berbeda.

Laki-laki itu melihat Tiara yang keluar kamarnya beberapa jam yang lalu. Dia mengikuti, serta mengawasi Tiara dari kejauhan. Damar melihat gadis itu terduduk di balkon tengah dan bersenandung sedih. Namun yang kemudian menarik perhatiannya adalah ketika Ranan menghampiri Tiara, bahkan sampai menanyakan alasan gadis itu menangis. Damar berpikir itu hanyalah ilusinya saja, apalagi ketika sepasang tangan laki-laki itu mendekap Tiara lalu membawanya ke dalam.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWhere stories live. Discover now