Withered Flower: Euodia

2.1K 161 10
                                    

Emosinya keruh. Melalui kaca pintu kamar rawatnya kini, gadis itu melirik beberapa kali keluar. Beberapa orang pria tampak datang dan pergi. Mereka mengatakan sesuatu yang tidak bisa dirinya dengar. Hanya rona masam—itu yang mampu ditangkap Euodia.

Ujung jari-jarinya mendingin. Gadis itu berulang kali menggesek-gesekkan kedua tangannya, dengan harapan sisi yang memutih itu akan kembali menghangat. Tapi sia-sia. Kegelisahannya kian menjadi. Dia berada di sini—di rumah sakit. Sendirian. Selain orang-orang dari kepolisian berpakaian preman, tidak ada satu orang pun yang mengunjunginya.

Tidak ada yang mengingat Euodia. Dulunya dia hanya siswa pendiam yang tidak menonjol. Beberapa anak memusuhinya hanya karena dia berhasil menarik perhatian beberapa anak laki-laki. Euodia sebatang kara. Dulu dia tinggal bersama paman dan bibinya yang memperlakukannya seperti pembantu. Namun gadis itu tahu, semenjak dia menghilang, dua orang itu enggan mencarinya. Mungkin mereka lega karena beban mereka berkurang.

Sekali lagi, Euodia bukan siapa-siapa. Keadaannya kini terlalu menyedihkan untuk diceritakan pada siapa pun.

Saat pintu kamar itu dibuka, masuklah Moran. Pria itu mendekat ke arahnya sembari menghela napas panjang. Menatap Euodia, dia juga memberikan seulas senyum meski kentara dipaksakan.

"Sudah baikan?"

Euodia mengangguk. Setelah orang-orang itu memberikan banyak pertanyaan untuknya, Euodia tidak lagi ingin berucap. Tenaganya habis. Sesuatu di perutnya beberapa kali menendang, membuat gadis itu meringis sekaligus marah. Ingin sekali Euodia membunuhnya.

"Sebelumnya, kami ingin minta maaf," kata Moran. "Kami sudah berupaya. Tapi sejauh ini, nggak ada satu pun sanak keluarga yang bisa dihubungi."

Tidak mengherankan. Euodia sudah lama tahu, bahkan ketika dirinya masih berada dalam ruangan gelap dan lembab itu. Mereka—paman dan bibinya—tidak akan peduli. Mungkin sekarang mereka telah pindah di tempat yang jauh dan menjalani hidup sesuka mereka.

"Tapi ada seseorang yang menjemputmu. Dia sudah menunggu sejak kemarin," kata Moran lagi. Euodia menatapnya penuh tanda tanya. "Sepertinya dia bukan keluargamu. Kalau kamu menolak, nggak apa-apa. Kami akan menjamin keselamatan saksi."

Lalu setelah mengucapkannya, Moran berbalik pergi. Sementara Euodia bingung menerka orang yang dimaksud Moran, langkah kaki lain terdengar. Euodia melihat seorang laki-laki mengenakan setelan yang rapi tersenyum ramah padanya. Wajah yang asing.

"Halo. Kau Euodia kan?" sapanya sebagai pembukaan. Logatnya sedikit aneh. Pantas Moran langsung menyimpulkan kalau Euodia tidak akan mengenalnya. Dia menyampirkan jaketnya di kedua tangannya yang terlipat. "Namaku Lava. Kau tidak tahu aku, tapi aku lumayan mengenalmu."

Euodia diam. Sedikit pun dia tidak tahu harus menanggapi apa untuk membalas perkataan orang asing. Semua hal yang menimpanya sudah cukup membuat gadis itu muak.

Masih dengan tersenyum, Lava mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang ternyata disembunyikan di balik jaket. Laki-laki itu membukanya, lalu mengeluarkan beberapa lembar berkas dari dalam. Dia mendekat pada Euodia dan menaruh berkas-berkas itu pelan ke pangkuannya.

Euodia terdorong melihat kertas-kertas itu. Berkasnya terdiri dari foto dan surat-surat yang dia baca sepintas.

"Paman dan Bibimu tinggal di tempat yang cukup jauh." Lava menerangkan. "Mereka sengaja pergi meninggalkanmu. Terbukti dari tidak adanya kontak dari mereka selama kau menghilang."

Euodia melihat selembar foto yang menggambarkan paman dan bibinya yang pergi berlibur, juga sewaktu mereka mengantar anak mereka pergi ke sekolah. Terlihat amat normal dan bahagia. Euodia menggigit bibir bawahnya kala dia langsung meremas foto itu dalam kemarahan.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWhere stories live. Discover now