44. Citrus: Soot in His Eyes

1.3K 167 9
                                    

Ancamannya gagal. Yanet bersikap seolah-olah tidak mendengar apa pun. Dengan alasan ingin tidur lebih awal dan tidak peduli meski melewatkan makan malam begitu saja, dia menyuruh Tiara keluar. Bisa-bisanya dia juga mengingatkan Tiara supaya tidak lupa membawa kembali gelasnya!

Alhasil, malam itu juga Tiara sengaja terjaga. Dia menunggu sampai lewat tengah malam sebelum menemui Ranan. Kali ini dia tidak bertingkah kikuk seperti anak ayam. Pintu kamar Ranan bahkan langsung dia buka tanpa mengetuk. Emosi kesalnya kentara.

Ranan memutar kursi roda demi melihat gadis itu masuk lalu duduk di tepian ranjang. Wajahnya sangat keruh.

“Seharusnya dia yang—..,” gumamannya terputus. “How dare she ignored me!”

Ranan mengangkat alis. Yanet, pikirnya. Tidak salah lagi. Mengingat sifat Tiara, gadis itu pasti telah diberondong pertanyaan bertubi-tubi dengan nada memaksa.

“Dia menganggapku seperti anak kecil yang harus terus digandeng ke sana kemari selama ini. Kenapa aku bisa-bisa tidak tahu? Aku cuma ingin tahu darimana asal tingkah anehnya. Tapi dia—..” Gadis itu mendengus kesal.

“Pelankan suaramu,” kata Ranan pendek. Tidak terlalu peduli, dia lantas kembali menghadap komputernya.

“Ini menyeramkan kan?” Tiara berucap lagi. “Kau tidak mengenalnya, tapi dia sepertinya tahu semua hal tentangmu. Di saat aku menganggapnya teman..”

Di depannya, Ranan masih diam. Gerak jemarinya di atas mouse berhenti. Menghela napas panjang, laki-laki itu kemudian beranjak dari kursi rodanya selanjutnya mengambil duduk di sebelah Tiara.

“Aku pernah di posisi yang sama denganmu,” ujarnya.

“Berteman dengan stalker?”

“Memiliki banyak sekali teman yang menyukaimu, tapi tidak ada di antara mereka yang benar-benar memahamimu.”

Tiara tertegun. Kalimat itu sekaligus menohoknya, mengingatkan Tiara sewaktu dirinya masih di St. Danielle. Fake people. Betapa Tiara sangat menyukai perhatian, namun dia tidak bisa balas memperhatikan mereka semua. Mana yang benar-benar menyukainya dan mana yang hanya berpura-pura menyukainya tapi menggunjingkannya dari belakang. Tiara sudah berulang kali merasakannya, akan tetapi tetap memilih tidak mengacuhkan.

“Ada banyak cara yang bisa dilakukan seseorang untuk mengetahui semua hal soal orang yang dia sukai..,” terang Ranan. “Normalnya, itu adalah sebuah perhatian—terlepas dari apa tujuannya.”

Mereka saling memandang. Mata Tiara seolah tidak bisa lepas dari wajah Ranan yang sendu. Bibirnya yang merekah bergerak-gerak mengucapkan kalimat-kalimat penenang. Jarang-jarang Tiara mendapatkannya. Susah payah gadis itu juga menahan diri supaya tidak langsung memeluk.

“Kenapa kau justru menyalahkannya, di saat dia telah menolongmu?”

Tiara mengernyit. “Kau tahu itu Yanet?”

“Kau sendiri yang menyebut namanya kemarin.”

“Apa kalian pernah bertemu tanpa sepengetahuanku?”

Giliran Ranan yang mengerutkan dahi karena dia menyadari nada yang aneh dalam kata-kata gadis itu.

“Koreksi kalau aku salah,” kata Tiara. “Pertemuan pertama kita, kau membentakku. Kau jelas tidak menyukai orang asing, apalagi langsung mempercayai mereka. Sekarang kau membelanya di saat aku merasa amat curiga dengan alasan keberadaannya di sini? Aku—yang ke mana-mana selalu dia ikuti?”

Apa artinya ini? Ranan bertanya dalam hati karena tidak kunjung menemukan ada yang salah pada ucapannya tadi. Gadis itu marah?

Mendapati Ranan hanya diam, kecurigaan Tiara makin bertambah.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWhere stories live. Discover now