50. The Marshmallow: Dying

1.3K 184 20
                                    

Viola memerah sehelai handuk kecil setelah direndam dalam air es. Menuntaskan sisa air, dia lalu melipatnya sebelum menaruh benda basah itu ke dahi Amarta. Demam menerjang tubuhnya selama tiga hari. Alhasil tubuh itu berbaring lemah di atas ranjang. Viola harus selalu menungguinya karena Amarta bisa kejang kapan pun.

Semua orang selain mereka tentunya telah terlelap. Viola tidak pernah mengeluhkan betapa cukup sering dia ada di posisi seperti saat ini. Biar bagaimana pun, hanya mereka berdua yang menjaga semua kenangan dalam rumah itu.

Besar.

Sunyi.

Viola juga paham dari mana firasat yang menghantui Amarta berasal. Bukannya dia tidak mengerti, hanya.. cukup tahu.

Di saat salah satu dari mereka mungkin dirundung kemalangan, bumerang akan menyerang diri mereka yang lain.

Viola tidak memiliki pilihan lain. Karena dia memutuskan untuk tinggal, dia juga yang harus menjaga.

“Apa kau ingat mama, Orchidee?” tanyanya pelan sembari membungkus tangan Amarta dengan kedua tangannya. “Sekarang setelah aku memikirnya, di antara kita berlima, mama sangat mirip dengan Chrysantee.”

Tawanya..

Cahayanya..

“Aku tahu terkadang.. aku telah berlaku keras dan tidak adil padanya. Aku selalu ingin mengabaikannya, tapi tidak bisa,” gumam Viola. “Karena aku iri padanya. Her light.. warmth.. The thing is.. maybe I’m not one of you.”

Gadis itu terdiam lagi. Menghela napas panjang, satu tangannya menumpu pada ranjang untuk menopang dagu. Tersenyum, dia lalu merapikan anak-anak rambut yang berantakan dekat telinga Amarta.

She will be fine. I promise.” Dia lantas mendekatkan wajahnya. Tubuh keduanya lalu berbaring di ranjang yang sama.

***

Kesadaran Ranan mengambil alih setelah seolah-olah jantungnya sempat berhenti berdetak. Laki-laki itu berlari kemudian memungut sebilah kayu sebelum menghantamkannya pada kaca jendela. Tubuh tingginya kemudian melompati bingkai bawah meski pecahan kaca bisa melukainya saat itu juga.

“Tiara..” Ranan menyebut namanya kala merengkuh cepat tubuh itu ke dalam pelukannya. Jemarinya gemetar mendapati mata tersebut menutup kaku. Ranan pun tertegun menyadari hal lain ketika meraba punggung Tiara.

Darah merembes pada punggung yang tertancap serpihan kayu.

Ranan menyandarkan bagian depan tubuh Tiara yang condong demi melihat bagian belakang tubuh gadis itu. Ketika Ranan hendak mencabut salah satu serpihannya, Tiara tiba-tiba menjerit. Siuman mendadak berkat rasa sakit, kuku-kukunya langsung mencengkeram bahu Ranan. Napasnya semakin berat. Belum lagi suhu tubuhnya yang mendingin meski Tiara seperti mencoba membenamkan wajahnya ke leher Ranan.

“Jangan sentuh...,” bisik gadis itu lirih. “Jangan.. di sana..”

Rahang Ranan saling menekan kuat. Masih dengan membiarkan Tiara mencengkeram pundaknya, laki-laki itu lantas mengangkat tubuhnya menghampiri jendela. Di sana Logan bersiap mengambil alih menggendong Tiara. Baik Logan dan Jonas pun tampak resah melihat keadaan gadis itu.

Ponsel Jonas berbunyi singkat.

“Mereka sudah di sini,” katanya. Bantuan mereka telah datang.

Ranan mendesis setelah melompati jendela untuk yang kedua kalinya. Ditekannya kuat-kuat bagian pinggang yang terus-terusan mengeluarkan darah.

“Bertahanlah,” ucap Jonas padanya. Tangannya sempat mengulur pada Ranan namun ditepis saat itu juga.

Mengabaikan lukanya, Ranan berdiri selanjutnya memandang berkeliling. Tidak ada orang selain mereka di sana. Hal yang sama juga Ranan temukan di lantai atas. Tidak ada lagi tanda-tanda keberadaan orang yang telah mendorong Tiara.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu