Perlahan, Maura menyentuh bahu Mami Dewa. Mencoba membangunkan dengan lembut. "Tante...."
Mami Dewa langsung membuka matanya dan mengerjap. Tubuhnya ditegakkan lalu menatap Maura. "Maura? Udah pagi ya?"
Maura mengangguk. "Tante cuci muka dulu. Trus pulang dan istirahat. Biar aku yang gantian jaga Dewa."
"Gapapa. Tante juga udah istirahat dari semalem kok." Mami Dewa lalu mengalihkan pandangannya pada Nando. "Ini siapa?"
"Nando, Tante. Temen sekelas aku, temen Dewa juga," jawab Maura.
Nando mengangguk sopan lalu menyalami Mami Dewa.
"Kok... muka kamu juga...?" Mami Dewa menunjuk wajah Nando yang juga bengkak dan biru seperti Aldo semalam.
"Iya, Nando juga ada di kejadian kemarin, Tante." Maura yang malah menjawab. Maura sudah feeling kalau Nando pasti akan menjawab jujur kalau apa yang dialami Dewa ini adalah akibat menolongnya. Maura tidak mau Nando terus merasa bersalah.
Mami Dewa mengangguk-angguk ragu. "Oh iya, empat anak yang kemarin menyerang udah ditangani sama polisi. Omahnya Dewa juga mau memastikan kalo mereka nggak boleh ikut ujian nasional. Apapun alasannya. Omahnya Dewa udah menuntut mereka."
Maura dan Nando sama-sama menelan ludahnya. Sedikit ngeri mendengarnya. Tapi mereka juga jadi lega, karena orang-orang seperti itu akhirnya diberi pelajaran yang setimpal.
"Syukur deh, Tan," komentar Maura kemudian.
Tak lama, pintu ruangan terbuka. Masuklah seorang dokter dan perawat yang hendak mengecek keadaan Dewa. Ketika diketahuinya tak ada respon apapun dari tubuh Dewa, sang dokter langsung memberi tahu perawatnya.
"Kita pindahkan ke ruang ICU," ucapnya yang membuat Maura, Nando dan Maminya Dewa membuka mata lebar.
"Kenapa, dok? Anak saya kenapa?" tanya Mami Dewa panik.
"Putra ibu tidak memberikan respon. Perkiraan, ini bukan sekedar hilang kesadaran biasa. Maka kami memutuskan untuk memindahkannya ke ruang ICU untuk penanganan lebih lanjut."
Kepala Maura rasanya berputar-putar. Benda di sekitarnya melayang saling bertubrukan. Hingga akhirnya tubuhnya hilang keseimbangan dan ditangkap oleh Nando. Dipegangi erat-erat. Suara-suara Nando yang memanggil namanya pun hanya menggema di telinga.
Maura belum pernah sekalipun marah pada takdir Tuhan. Namun kali ini rasanya dia ingin melakukannya.
***
Sudah empat hari Dewa berada di ruang ICU, namun belum ada tanda-tanda dia akan bangun. Omah dan Maminya selalu menunggu bergantian. Setiap pulang sekolah, Maura juga selalu datang. Maura jadi sering melewatkan bimbingan belajarnya untuk menghadapi UN. Maura jadi tidak konsen mempelajari soal-soal latihan untuk UN.
Hari ini kebetulan Omah dan Maminya yang menjaga Dewa. Papinya sendiri baru sekali datang melihat keadaan Dewa. Sampai sekarang belum pernah muncul lagi.
Di ruang tunggu ICU, dua ibu dan anak yang dalam hatinya terus berdoa itu langsung berdiri ketika perawat memanggil anggota keluarga Dewa untuk masuk.
Mereka berdua langsung bergegas masuk. Dan betapa kagetnya mereka saat melihat penghuni ranjang yang selalu mereka jaga itu ternyata sudah membuka matanya. Menatap mereka dengan sorot lemah. Di sampingnya ada dokter yang tersenyum pada mereka.
Langkah mereka sontak jadi makin cepat. Dan ketika tiba di sisi ranjang Dewa, keduanya memegang tangan Dewa kanan dan kiri. Menitihkan airmata bahagia saat melihat Dewa akhirnya membuka matanya.
"Dia hebat, kuat. Syukurlah dia bisa melewati masa kritisnya. Ternyata tidak ada masalah lain pada saraf maupun otaknya. Cepat atau lambat dia akan pulih kembali," kata sang dokter.
Omah dan Maminya pun langsung mengucap syukur, tak henti-henti.
"Sayang... Dewa.... anak Mami..." ucap Maminya tak kuasa menahan tangis.
"Mami?" Dewa mengerjapkan matanya. Seolah tak percaya Maminya bisa berada di sini dengan wajah sesedih ini.
"Iya, Dewa... ini Mami."
"Tumben peduli."
Tangis Maminya semakin pecah. Di saat sakit seperti ini, bahkan Dewa masih bisa mengingat betapa buruknya dia sebagai ibu selama ini. Di kondisi seperti ini, Dewa masih tetap benci dan sinis padanya.
"Dewa..." Kini giliran Omahnya yang memanggil. Dewa pun menoleh dan tersenyum.
"Omah, kenapa nangis?"
Lihat, cowok itu benar-benar enteng melebarkan senyumnya. Kembali segar seolah sedang tidak baru saja mengalami koma.
"Kamuuuu!" Omahnya menghapus airmata. "Kapan sih kamu nggak bikin Omah khawatir? Kamu lupa, cucu Omah cuma tinggal kamu satu-satunya?!"
Dewa masih tersenyum lebar. Benar-benar telah pulih. "Aku gapapa, Mah."
"Gapapa apanya?! Kamu ngapain sih bikin ulah macem-macem, Dewa.... kamu sebentar lagi UN, jangan bodoh dong!"
Di samping kekesalannya ini, sebenarnya Omahnya begitu mengkhawatirkan Dewa. Hanya saja, beginilah caranya memperlihatkan kepedulian. Dan Dewa mengerti itu.
"Maaf, Omah... lagian juga UN-nya masih lama kok."
"Masih lama apanya!"
"Kan emang masih tahun depan."
Jawaban Dewa itu sontak membuat Omah dan Maminya saling tatap. Kaget. Bingung. Dan mulai berprasangka buruk.
Lalu secara bersamaan, mereka menatap dokter untuk meminta penjelasan dari ini.
"Dok..." lirih Omahnya.
Dan sang dokter pun hanya bisa menghela napasnya.
***
tbc
<<< Inesia Pratiwi >>>
Maaf ya part ini kayaknya error deh pas di publish jadinya ga muncul notif
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Ketigapuluh Lima!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)