Hello, Memory Ketigapuluh Lima!

Mulai dari awal
                                        

***

Dewa akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan. Maminya pun sudah datang sejak pemindahannya ke ruang perawatan tadi. Mengurus semua administrasi dan pengobatan Dewa.

Wanita itu nampak panik saat dokter menjelaskan kondisi Dewa. Meskipun hubungannya dengan Dewa selama ini tak baik, Dewa tetap anaknya. Rasanya tetap saja sakit saat tahu darah dagingnya berbaring tak sadarkan diri seperti ini.

Dokter bilang, hasil CT Scan Dewa baik. Hanya saja otaknya mengalami cidera yang lumayan serius bekas hantaman keras dari kayu itu. Itulah alasannya mengapa hingga saat ini Dewa belum sadarkan diri. Dan jika dalam beberapa waktu Dewa masih juga belum sadarkan diri, dia akan dipindahkan ke ruang ICU.

Dan selagi Dewa berada di ruang perawatan, Maura belum juga pulang ke rumahnya hingga malam hari. Maminya Dewa sampai harus memaksanya untuk pulang ke rumah diantar oleh Aldo.

"Aku mau nginep di sini aja, Tante," tolak Maura.

"Besok kamu bisa ke sini lagi. Biar di sini Tante yang jaga Dewa."

Akhirnya, Maura pun menurut. Setelah memandangi wajah Dewa yang tak pernah bisa membuatnya berhenti menangis itu, Maura pun pamit pada Dewa di dalam hati. Maura yakin Dewa bisa mendengarnya, seperti biasanya saat mereka sedang berkomunikasi hanya lewat suara hati. Jadi kali ini Maura percaya Dewa pasti bisa mendengarnya.

Sayang, aku pulang dulu ya. Besok pas aku dateng ke sini lagi kamu udah harus bangun ya. Jangan tidur terus. Kamu masih punya banyak janji sama aku yang belom ditepatin.

Diiringi airmatanya, Maura mulai melangkah keluar.

***

Pagi harinya, Nando sudah muncul di depan rumah Maura. Meskipun bekas lukanya masih belum pulih. Kemarin, Nando tidak harus dirawat inap. Setelah Maura membayar administrasi untuknya, Nando sudah bisa dipulangkan. Maka sekarang, Nando ingin ikut dengan Maura ke rumah sakit menjenguk Dewa. Ingin mengucapkan terimakasih pada Dewa yang kemarin belum sempat diucapkannya.

"Lo udah sarapan kan, Ra?" tanya Nando, saat Maura memberi kunci motornya untuk dikendarai ke rumah sakit.

Maura hanya mengangguk satu kali. Masih lemas dan wajahnya lesu. Pucat tanpa gairah. Makanan yang masuk ke mulutnya saat sarapan tadi hanya beberapa sendok, itu juga karena paksaan dari Finda.

"Maafin gue ya, Ra, gara-gara gue Dewa jadi..."

"Bukan salah siapa-siapa." Maura langsung memotong ucapan Nando. Dan tanpa berkata-kata lagi dia memakai helmnya.

Nando pun diam dan menaiki motor Maura.

***

Ketika membuka pintu ruang perawatan Dewa, Maura terpaku dengan tangan yang masih memegang handel pintu. Hatinya terenyuh ketika melihat Dewa berbaring ditemani Maminya yang ikut menidurkan kepalanya di ranjang Dewa. Menggenggam tangan Dewa.

Maura akhirnya mengerti betapa kasih ibu adalah sepanjang masa. Meskipun selama ini Maminya Dewa tak pernah mempedulikan Dewa, tak pernah ada di rumah, tak pernah menjadi ibu yang sesungguhnya untuk Dewa, namun saat Dewa berbaring tak berdaya, Maminya tetap tak akan bisa tetap tinggal diam.

Ibu tetap akan jadi yang paling berada di dekat anaknya ketika anaknya sakit. Ibu tetap akan berdoa sekeras-kerasnya untuk kesembuhan anaknya. Ibu tetap akan meminta pada Tuhan 'Biar aku saja yang merasakan sakitnya, jangan anakku. Pindahkan saja sakitnya padaku.' tanpa bosan-bosannya.

Ibu tetap akan menjadi ibu. Sosok serupa malaikat yang paling mencintai anaknya.

Maura segera menghapus airmatanya yang baru menetes di ujung mata. Dia lalu menarik napas dan mulai melangkah menuju ranjang Dewa. Nando mengikutinya dari belakang.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang