Marco tak mampu lagi bangun. Sementara orang yang memukul Dewa dengan kayu langsung mundur dan hendak kabur. Tapi untungnya, teman-teman Aldo dan Dewa yang juga tadi dihubungi oleh Aldo untuk datang ke sini muncul tepat waktu dan segera menahan orang itu. Mereka mengepung dan menahan Marco berserta pasukannya.
Aldo segera menghampiri Dewa yang sudah tak sadarkan diri. Dari kepalanya, darah banyak mengucur. Aldo sampai panik dan berteriak pada temannya yang lain agar segera membawa Dewa ke rumah sakit.
***
Dengan tangan gemetar, Maura mencoba mengerahkan segala keberaniannya untuk mengangkat telepon dari Aldo. Untuk sesaat dia mengenyahkan pikiran buruk di kepalanya demi bisa mengeluarkan suaranya. Namun meskipun sudah berusaha, tetap saja suara yang dikeluarkan tetap bergetar dan serak.
"H-haloo...?"
"Maura." Suara Aldo terdengar. Tenang, santai dan suasana sekitarnya terdengar sepi. Semakin menambah suasana jadi mencekam buat Maura.
"Y-ya? Kenapa, Do?"
"Lo di mana?"
"Di rumah. Kenapa, Do?"
"Tenang ya, Ra."
Bukannya tenang, justru Maura jadi semakin cemas. Meskipun suara Aldo tenang dan menyuruhnya untuk tenang, Maura tetap tidak bisa tenang. Dia yakin pasti sesuatu buruk telah terjadi.
"Kenapa, Do?!" Maura nyaris meninggikan nadanya.
"Dewa ada di rumah sakit."
Tubuh Maura meluruh ke sofa. Kepalanya berputar, tubuhnya seolah melayang.
"D-Dewaaaaa...." Sambil terisak, Maura melirihkan nama Dewa.
"Lo tenangin diri dulu ya. Setelah itu lo baru ke sini. Please hati-hati, Ra."
Setelah telepon terputus, Maura kembali melanjutkan tangisnya. Tak percaya. Merasa seperti mimpi.
Ternyata... firasatnya tadi benar.
Ternyata... inilah alasannya dia enggan melepaskan pelukan Dewa. Enggan melepas Dewa pergi.
***
Di koridor rumah sakit, Maura berlarian menuju UGD. Aldo yang duduk di ruang tunggu berdiri menyambut Maura yang wajahnya pucat dan panik.
"Dewa mana, Do?" tanya Maura langsung, mencengkram lengan Aldo sekaligus berpegangan demi menahan tubuh lemasnya.
"Lagi di CT Scan. Duduk dulu, Ra."
Tubuh lemas Maura pun menurut saat Aldo membawanya duduk. Airmatanya sudah mengalir deras. Tangannya bergetar, tubuhnya lemas.
"Gue udah bilang dari awal ini tuh bahaya, tapi dia tetep aja nekat berangkat!" ujar Maura, suaranya parau.
"Lo tau sendiri kan, Ra... Dewa bukan orang yang bakal diem aja liat temennya kesusahan."
"Trus Nando gimana?"
"Dia ada di dalem, tidur abis dikasih obat."
"Lo kenapa di sini? Lo juga luka-luka, Do."
"Gue gapapa, udah diobatin kok tadi. Kalo lo mau liat Nando, sana masuk aja."
Maura mengangguk. Tubuh lemasnya pun dipaksa berdiri dan masuk ke UGD. Dan semakin lemas lah tubuhnya saat melihat Nando berbaring di bangkar dengan wajah mengenaskan. Bengkak, biru, darah dan obat merah di mana-mana. Merusak wajah tampannya.
Maura sampai menutup mulutnya dan kembali menangis. Tak tega.
Jika keadaan Nando saja sudah sebegini parahnya, bagaimana dengan Dewa? Maura tak sanggup membayanginya. Tak sanggup melihatnya.
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Ketigapuluh Lima!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)