Hello, Memory Ketigapuluh Empat!

Start from the beginning
                                        

"Hmm..." Maura mengangguk-angguk paham. Tipe cowok kasar seperti Marco memang sudah bisa ditebak sifatnya. "Yaudah hati-hati aja, Nan. Lindungin Mia dan diri lo sendiri ya."

Nando mengangguk pasti.

"Pantesan di ruangannya nggak ada, taunya di sini."

Mereka berdua segera menoleh saat suara Dewa terdengar di dekat mereka. Cowok dengan jaket denim itu melangkah ke meja Nando. Matanya tajam melirik Maura.

"Gue lagi bujuk Nando pulang bareng kita lagi," ujar Maura sambil menyeringai.

Setelah langkahnya berhenti di depan Maura, Dewa makin memicingkan mata tajamnya pada Maura. "Lo tuh beneran nggak cinta sama Nando kan?"

Mendengar pertanyaan itu, Maura lantas tertawa. "Apaan sih Dewa!"

"Jangan-jangan gue dimainin nih. Jangan-jangan pernyataan cinta lo ke gue kemaren cuma bohongan."

"Apaan sih kamu!" Maura mencubit pipi Dewa. Sedangkan Nando tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Jadi kamu nggak percaya gitu sama aku? Padahal aku udah nangis-nangis lho kemaren. Masih ragu juga? Oh yaudah kalo gitu!"

"E-eh eh!" Dewa langsung menggeleng-geleng. Mata tajamnya sudah berubah menjadi mata manja dan imut. Suaranya juga. "Percaya kok, Sayang. Bercanda doang kan tadi ihh. Abisnya kamu masih aja maksa-maksa Nando. Kalo dia nggak mau bareng kita lagi yaudah biarin aja, kan biar kita bisa berduaan terus."

"Dewa ih gue geli dengernya!" Maura makin keras mencubit pipi Dewa. Meskipun pipinya sendiri sebenarnya terasa panas.

Sementara Dewa merintih kesakitan, Maura menyeretnya keluar kelas diikuti oleh Nando. Tapi begitu sampai di pintu kelas, tangan Maura yang mencubit pipi Dewa langsung diambil alih oleh Dewa. Dipaksa lepas dari pipinya untuk digandeng erat-erat.

"Nggak usah gandengan terus Dewa!" tolak Maura, malu dengan teman-teman lain. Tapi Dewa tak mengacuhkan.

Di belakang mereka, Nando terkekeh memperhatikan. Ikut bahagia melihat dua sahabatnya yang sudah diketahuinya sejak dulu kalau sebenarnya mereka saling cinta namun tak saling bicara. Ikut bahagia bisa menyaksikan penantian dan perjuangan mereka dalam menjemput cinta.

***

"Dewa, besok naik motor aja yuk."

Ajakan Dewa membuat fokus Dewa pada jalanan di depannya jadi teralihkan ke wajah kekasihnya itu. "Kenapa emang?" tanya Dewa, sambil menurunkan kecepatan lajunya.

"Kan Nando udah nggak bareng sama kita lagi, mulai besok kita naik motor aja."

"Trus kenapa mau naik motor?"

Maura tersenyum, kepalanya menghadap jendela yang ditetesi gerimis. "Gue pengen duduk di belakang lo lagi. Nyender di punggung lo. Meluk pinggang lo." Menahan malu, Maura mencoba menyuarakan keinginannya. Sejak ketidakpekaannya atas perasaannya pada Dewa kemarin, Maura mulai ingin belajar untuk bisa lebih mengatakan apa yang diinginkan hatinya. Selagi masih ada waktu.

"Hah? Apa? Nggak kedengeran, Ra." Dewa tidak bisa menghentikan senyumnya. Sejujurnya dia mendengar, hanya saja ingin menggoda Maura.

"Nyesel kalo nggak denger!" Maura masih belum memutar kepalanya ke arah Dewa.

Dewa tertawa. "Jadi ceritanya pengen nempel-nempel sama gue ya?"

Maura langsung menoleh, mencubit pipi Dewa. "Nggak gitu yaampun!"

"Ahh!" Dewa mengambil tangan Maura di pipinya kemudian menggenggamnya di atas pahanya. Tangan kanannya tetap mengendalikan setir. "Udah dibilangin berkali-kali, pipi aku itu diciptakan buat dicium, bukan dicubit, Sayangggg...."

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now