(01) | PSH🌈

49.5K 1.7K 31
                                    

happy reading:)

🌈🌈

Aku suka hujan
Ia mengingatkanku pada ratap
Ia mengikatku pada kasih
Ia menyeretku pada senja

Aku suka hujan
Basahnya mengoyak jiwaku
Basahnya melarutkan dukaku
Basahnya menyamari air mataku

Aku suka hujan
Dulu di bawah hujan
Cerita indah kutulis
Bersama ia yang tak henti mengais

Aku suka hujan
Dengannya ratusan sajak kukutat
Ribuan kata terngiang di tempurung otak
Milyaran bayang berjalan disana

Aku suka hujan
Karena disetiap air yang jatuh
Kuikat sepucuk doa kecil
Jatuh ke bumi membawa semuanya.

Seulas senyuman terbit di bibir seorang gadis yang baru saja selesai menuliskan puisi di buku catatannya. Tanpa melihat situasi, dia seolah mengabaikan sang guru yang tengah mengajar--namun mendadak berhenti ketika melihat salah satu muridnya nampak tidak memperhatikan materi yang beliau sampaikan.

"Subhanallah. Selain cantik ternyata gue bisa puitis juga ya," sementara teman-teman sekelasnya menatap gelisah, gadis itu malah berdecak kagum pada hasil karyanya. Dia tak menyadari jika saat ini dirinya tengah menjadi pusat perhatian seisi kelas.

Ara, perempuan yang duduk di sebelah gadis itu segera menyenggol lengannya beberapa kali agar dia segera sadar bahwa dirinya sedang dalam keadaan siaga satu.

"Astaga, Athala! Demi apapun lo sadar situasi kek!" bisik Ara. Namun sekeras apapun Ara menyadarkan, usahanya tak membuahkan hasil.

Ketika Pak Galih sudah hampir mencapai mejanya, dengan sangat terpaksa Ara harus melakukan cara lain yaitu menginjak kaki gadis itu. Dan cara tersebut berhasil membuat Athala mengaduh dan seketika menatap tajam pada Ara.

"Lo ngapain sih, Ra?!" ucapnya kesal. "kalo mau baca puisi gue bilang dong!"

"Oh, jadi sedari tadi kamu menulis puisi?"

"Iyalah, dikira gue ngap---" tepat ketika Athala menoleh ke sumber suara, suara yang amat dikenalnya, seketika dia terlonjak kaget sambil tersenyum kikuk. "Eh, Bapak!" kemudian ia berbisik pada Ara. "kenapa lo gak ngasih tau gue?"

"Lo budeg sih!"

Athala menegakkan tubuhnya kala mendengar Pak Galih berdehem. "Mana saya mau lihat puisi kamu," 

"Tapi Pak---"

Pak Galih menatapnya seakan menyuruh Athala agar segera menyerahkan buku itu padanya, dan dengan berat hati dia memberikan benda tersebut pada beliau.

Pak Galih membaca kata demi kata yang tertulis di sana, sesekali kepalanya mengangguk paham. "Puisi kamu bagus kok, puitis dan juga menjiwai,"

Athala mendongakkan kepala dengan sorot mata berbinar, "Jadi saya gak dihukum, Pak?"

"Kata siapa kamu tidak dihukum?"

"Kan tadi kata Bapak puisi saya bagus," cicit Athala pelan.

"Ya memang saya berkata seperti itu, tapi bukan berarti kamu bebas dari hukuman," beliau tersenyum miring. "sekarang, keluar dari kelas dan hormat bendera sampai jam pelajaran saya selesai!"

"Enggak ada hukuman lain, Pak?" Athala memprotes.

"Mau saya tambah dengan membersihkan toilet?"

Athala menggeleng kuat. Jelas saja dia tidak mau, membayangkan betapa harumnya aroma toilet membuatnya seketika ingin mual.

"Saya pilih opsi pertama aja deh, Pak!"

Pelangi Setelah HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang