Hello, Memory Ketigapuluh Tiga!

Start from the beginning
                                        

Dewa ikut memasang wajah serius. Tangan kanannya mengambil tangan Maura. "Kenapa? Lo hamil?!"

Plak! Tangan yang dipakai untuk menggenggam Maura dipukul sampai merah. Dewa langsung meringis.

"Otak lo masih aja yaampun!" omel Maura.

"Lagian muka lo serius banget."

"Karna ini emang serius!" Maura melanjutkan dengan gumaman-gumaman yang memaki Dewa. "Sebentaaaaar aja, gue mau ngomong serius."

Dewa terkekeh lalu mengangguk-angguk. "Oke-oke mau ngomong apa sok didengerin."

Sebelum berbicara, Maura menarik napasnya dalam-dalam. Menciptakan suasana serius dengan tatapannya yang lurus tanpa kedip. Membuat Dewa semakin penasaran.

"Gue... gue suka sama lo."

Hah! Akhirnya kalimat itu berhasil meluncur dengan mulus. Tanpa disangka kejujurannya pada Dewa ini memang membuatnya lega, berbeda dengan kejujurannya pada Nando saat itu. Ternyata benar, hatinya memang memilih Dewa sejak awal. Bukan Nando.

Sementara Dewa, cowok itu belum berkedip. Baru setelah beberapa detik, Dewa tertawa kecil. "Apaan? Maksudnya lo lagi latihan buat ngungkapin ke Nando nanti?"

Maura mendesah. "Bukan Nando." Maura menatap Dewa lebih dalam lagi. "Dewa... gue sayang sama lo. Bukan Nando, tapi lo yang gue cinta."

Kerutan di kening Dewa semakin dalam. Tawanya pun makin pecah. Antara bingung dan tak percaya. "Lo lagi ngapain sebenernya sih? Gue gagal paham."

Kedua tangan Dewa diambil oleh Maura. Digenggam erat-erat. Keseriusan di wajah gadis itu makin terlihat. "Gue nggak lagi bercanda, Dewa. Gue sayang sama lo, bukan sama Nando. Selama ini gue salah mengartikan apa kata hati gue. Gue selalu ngelak apa kata hati gue. Padahal sebenernya dari dulu... yang gue cinta itu cuma elo."

Dewa menelan salivanya. Raut bingung nampak jelas di wajahnya. "Kenapa lo bisa tiba-tiba mikir gitu?"

"Dari dulu gue emang udah ngerasain sesuatu sama lo, tapi gue selalu ngelak perasaan itu. Gue nggak bisa peka sama perasaan gue sendiri. Gue selalu ngeyakinin diri gue sendiri kalo kita itu cuma sahabatan. Gue nggak mungkin cinta sama lo, lo pun nggak mungkin cinta sama gue. Gue pikir yang gue suka itu Nando, tapi ternyata bukan. Ternyata gue cuma penasaran sama Nando, merasa tertantang buat ngerubah dia jadi dirinya yang dulu. Ternyata selama ini gue salah."

"Darimana lo tau kalo lo salah?" kejar Dewa.

"Waktu lo nyuruh gue ungkapin ke Nando, gue sama sekali nggak ngerasa selega kayak gue ungkapin ke lo sekarang. Waktu gue liat Nando sama Mia, gue nggak ngerasa lebih sedih dibanding lo bilang berhenti nunggu gue. Waktu sama Nando, gue nggak bisa seluwes kayak waktu gue menceritakan apapun sama lo. Waktu sama Nando, gue nggak lebih banyak ketawa dibanding waktu sama lo. Dan sama Nando, nggak senyaman gue sama lo."

Maura menundukkan kepalanya. "Gue tau gue bodoh banget. Gue baru nyadar setelah lo udah berhenti nunggu gue. Gue baru tau rasanya cemburu waktu lo deket lagi sama Luna. Gue tau ini udah terlambat, tapi gapapa... gue bakal gantian nunggu lo, Wa."

Dewa masih belum puas. Masih banyak tanda tanya di kepalanya. "Kenapa baru sekarang? Kenapa dari dulu lo selalu ngelak? Apa karna gue udah nggak nunggu lo lagi atau karna Nando deket sama Mia lagi? Lo cuma jadiin gue backing-an gitu? Mentang-mentang gue cinta banget sama lo, lo jadi bisa seenaknya mainin perasaan gue. Narik ulur semau lo. Gitu?!" Dewa nyaris berteriak. Tapi tidak bisa. Sejak dulu, dia tidak bisa semarah itu pada Maura.

Maura mengangkat kepalanya lagi. Matanya sudah berkaca-kaca. "Bukan. Bukan gitu. Nggak sama sekali," elaknya tegas. "Dulu gue takut... gue takut kita bakal berubah setelah pacaran dan putus. Gue terlalu sayang sama lo, terlalu takut kehilangan lo, takut kalo kita jadi jauh. Dulu gue naif, munafik dan egois. Gue mau sama-sama lo terus tapi gue nggak mau kita pacaran. Karna dulu bagi gue, pacaran bakal bisa ngerusak hubungan kita. Gue nggak mau..."

Akhirnya Maura menangis. Terisak-isak menyesali kebodohannya di masa lalu.

Dewa pun mengusap wajahnya kasar. Rasanya seperti ingin marah tapi tidak bisa. Tapi rasanya juga senang saat tahu Maura ternyata membalas perasaannya.

"Trus apa yang tiba-tiba membuat lo berani mengambil keputusan ini? Lo udah nggak takut lagi kehilangan gue kalo nanti kita pacaran dan putus?"

Maura menggeleng pelan. Airmatanya belum berhenti menetes. "Gue mau lebih realistis dan ikutin kata hati gue. Gue nggak peduli lagi tentang gimana nanti. Sekarang... gue cuma mau sama lo."

Dewa tak mampu melihat mata sedih itu, dia pun cuma bisa menutup matanya dalam kebingungan sekaligus kegembiraan yang bercampur jadi satu.

"Lo yakin sekarang lo nggak salah juga? Waktu kemaren lo anggap lo suka sama Nando tapi ternyata salah, dan sekarang waktu lo anggap lo sukanya sama gue, apa itu nggak salah lagi?"

"Gue nggak pernah salah untuk kedua kali."

Dewa membuka matanya lagi. "Apa... apa alasan lo cinta sama gue? Lo tau, gue nggak terima jawaban bullshit like cinta nggak butuh alasan."

"Karna lo orang pertama yang ngajak gue ngobrol di hari pertama gue sekolah. Karna lo bisa buat gue ngerubah cara pandang dan hidup gue. Karna lo orang pertama yang gue ceritain semua yang nggak pernah gue ceritain ke oranglain. Karna lo selalu ada buat gue. Karna arti nama kita sama. Dan... karna lo adalah Dewa. Kalo lo bukan lo, gue nggak akan cinta sama lo."

Dewa tersenyum. Maura meniru jawabannya waktu itu. Selain itu, senyumnya juga adalah karena senyum bahagia.

"Tapi gimana ya... gue kan udah mutusin buat berhenti nunggu lo."

Maura menghapus airmatanya. Ikut tersenyum. "Gapapa, biar gue yang gantian nunggu lo."

"Hmm..." Dewa memandang langit-langit kamar, seolah tengah berpikir. "Tapi wishlist gue tahun ini juga belom tercapai kan."

"Wishlist?" Maura mengernyit.

"Mau bantuin supaya tercapai nggak, Ra?"

"Wishlist yang mana?"

"Jadi pacar lo."

Senyum Maura semakin lebar. Dadanya membuncah, penuh dengan bunga kebahagiaan. Dan beberapa detik kemudian, Maura langsung mengangguk-angguk tanpa pikir panjang lagi. "Mau banget."

"Yeessssssss!!!" Dewa bersorak girang dan membawa Maura ke pelukannya. Mendekap erat-erat. Penuh cinta. Penuh bahagia. Debaran jantung mereka yang kencang menyatu bersama, dengan ritme yang indah.

"Makasih ya, Wa, udah kasih gue kesempatan lagi," kata Maura di balik bahu Dewa.

"Padahal tadinya gue mau balikan aja sama Luna tuh."

Pinggang Dewa berhasil jadi korban cubitan cemburu dari Maura. Gadis itu mencebikkan bibirnya sambil menggumam kesal. Sementara Dewa malah tertawa-tawa.

"Bercanda, Sayang."

Ahhh, panggilan itu... Maura masih saja salah tingkah. Wajahnya terasa panas. Pipinya pasti sudah memerah. Mulai sekarang sepertinya Dewa akan sering memanggilnya seperti itu, dan Maura harus bisa menyiapkan mental kuat-kuat!

***

tbc

Ending? Eitsss belum dongggg! Masih panjang :p

<<< Inesia Pratiwi >>>

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now