Hello, Memory Ketigapuluh Tiga!

Mulai dari awal
                                        

Begitu pintu kamar terbuka, Maura perlahan melangkahkan kakinya masuk. Seperti dugaannya, kamar Dewa pasti sangat luas. Meskipun desainnya simpel dengan warna monokrom, kamar ini terasa nyaman. Hanya ada satu kasur berukuran besar, karpet berbulu, meja belajar dengan komputer, rak buku kecil, lemari, televisi, speaker dan game-game khas anak cowok, juga satu gitar akustik yang digantung di dinding.

Kamar ini jelas kamar cowok banget. Wangi parfum Dewa bahkan tercium di mana-mana. Stiker-stiker yang berhubungan tentang sepak bola ditempel di pintu lemari. Dan ada sesuatu yang membuat Maura tersenyum saat melihat dinding di dekat meja belajar, yaitu dimana dua lukisannya untuk hadiah ulangtahun Dewa dipajang di sana.

Setelah meletakkan tasnya di atas kasur, Maura duduk di pinggiran kasur berselimut hitam itu. Tangannya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua siang. Sambil menunggu Dewa, Maura putuskan untuk menonton TV. Tapi ternyata sampai sore Dewa belum juga pulang, sampai akhirnya Maura jatuh tertidur.

***

Dewa sudah tahu kalau Maura datang ke rumahnya, tapi karena dia sedang berada di Bandung sejak kemarin, Dewa baru bisa sampai di rumah pukul tujuh malam.

"Maura mana, Bi?" tanya Dewa, yakin kalau Maura masih berada di rumahnya karena motor Maura masih ada di halaman rumahnya.

"Di kamar Den Dewa."

"Hah? Dari tadi siang?"

Bi Warni mengangguk. Dewa pun langsung berlari menaiki tangga. Begitu membuka pintu kamarnya sendiri, Dewa langsung menghela napasnya. TV nya menyala, gordennya pun belum ditutup, sementara Maura terlelap di atas kasurnya dengan sepatu yang masih terpakai.

Dewa segera menghampiri Maura setelah mematikan TV, bergerak melepas sepasang sepatu Maura lalu duduk di pinggir kasur sambil menyelimuti setengah tubuh Maura. Senyumnya tidak bisa berhenti saat memandangi wajah tenang Maura. Tangannya dia gerakkan perlahan ke kepala Maura, mengelusnya pelan tanpa mengganggu. Meskipun usahannya menunggu sudah berhenti, cintanya masih belum bisa berhenti untuk gadis cantik ini.

Entah karena gerakan mengelus Dewa yang terlalu kencang atau memang tidurnya sudah cukup puas, Maura terbangun. Ketika terbuka sempurna, matanya langsung bersibobok dengan mata cokelat Dewa. Membuat jantungnya berbedar kencang. Bukan karena kaget, Maura akhirnya menyadari kalau debarannya selama ini pada Dewa memang mengartikan cinta.

"Berasa rumah nenek ya, Mbak?" Dewa menggoda dengan senyumnya.

Maura cuma tersenyum. Masih enggan duduk, masih ingin memandangi Dewa di posisi ini dengan usapan di kepalanya yang begitu nyaman. "Lo kapan pulang?" tanyanya, suaranya agak serak.

Dewa mengangkat tangannya. Tidak lagi mengelus Maura. Membuat Maura kecewa, seperti kehilangan kenyamanan. "Barusan. Lo ngapain ke sini? Masuk-masuk kamar orang aja."

Maura akhirnya mengangkat punggungnya, merubah posisi menjadi duduk. Berhadapan dengan Dewa. "Orang nyokap lo yang nyuruh gue nunggu di sini."

Dewa mengerutkan keningnya. "Tadi ketemu?"

"Iya. Lo dari mana sih? Lama banget pulangnya."

"Gue tadi di Bandung asal lo tau aja ya. Lagian lo ngapain ke sini nggak bilang-bilang?"

Maura diam sejenak, lalu matanya berubah menjadi serius saat menatap Dewa. "Gue mau ngomong sesuatu, Wa."

Hello, Memory!   [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang