Hello, Memory Ketigapuluh Dua!

Mulai dari awal
                                        

Maura gelagapan. Bingung. Mulutnya terbuka lalu tertutup lagi. Tak tahu harus berkomentar apa.

Memang benar yang dikatakan Nando. Awalnya Maura hanya ingin membantu Nando mendapatkan kembali jati dirinya yang dulu dengan merubah penampilannya. Tapi karena senyuman Nando, kontak fisiknya pada Maura dan penampilannya yang berubah drastis hari itu membuat Maura menyukai Nando.

Tapi apa benar kata Nando kalau ini hanya sekedar rasa penasaran saja? Bukan cinta?

"Gue itu paling peka dan bisa ngeliat ada atau enggaknya cinta dari orang ke gue. Dan gue nggak liat itu dari lo. Sama sekali. Gue liatnya cuma kagum. Kayak sekedar rasa puas udah berhasil ngebantu gue. Mungkin kalo suka, yah... gue pernah liat itu sesekali. Tapi kalo setiap hari, kayaknya enggak. Lo kayaknya salah memahami hati lo deh, Ra."

"T-tapi gue beneran suka sama lo, Nan! Gue yang lebih tau hati gue sendiri daripada lo kan?"

Nando tersenyum lagi. "Coba jelasin kenapa lo bisa cinta sama gue?"

"Ya itu tadi yang gue bilang."

Nando menggeleng pelan. "Nggak. Bukan itu. Itu terlalu klise. Kalo karna itu alasannya, lo bisa jatuh cinta sama siapapun yang definisinya kayak yang lo sebutin itu."

Maura ikut menggeleng-gelengkan kepalanya. Pusing. Rasanya jadi gila!

"Tapi gue yakin gue suka sama lo. Setelah mempertimbangkan beberapa alasan."

"Lo terlalu logic, Ra. Pakenya otak, bukan hati. Padahal cinta itu pakenya hati, bukan otak."

Nando memegang bahu kiri Maura yang terasa tegang. Nando mencoba menenangkan Maura yang sangat terlihat jelas penuh dengan kebimbangan. Gadis itu bahkan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menunduk sambil menggeleng-geleng. Seperti frustasi.

"Lo tau nggak sih siapa orang yang selalu gue liat selalu bisa bikin lo menatap dia dengan binar-binar cinta? Dewa, Ra. Lo salah memahami hati lo."

Maura langsung mengangkat kepalanya. Menatap Nando dengan mata lelahnya. "Bukan Dewa. Tapi lo. Gue lebih suka sama lo, Nan!"

"Ra, jangan maksain gini terus. Kasian hati lo. Kalo lo sendiri aja nggak bisa percaya sama hati lo, lo mau percaya sama siapa lagi?"

Maura ingin menjerit. Sekeras-kerasnya. Menyuarakan kemarahannya pada dirinya sendiri. Tapi tak bisa. Tak bisa di sini.

Maura memang sudah mulai sadar kalau Dewa adalah orang yang lebih dipilih oleh hatinya daripada Nando, tapi entah kenapa otaknya selalu menyugesti dan memberi perintah kalau yang disuarakan hatinya itu tidak benar.

Bodoh. Maura tahu dirinya bodoh.

Gila. Maura tahu sekarang dia sudah seperti orang gila.

Menyesal. Itu perasaan yang paling mendominasi hatinya sekarang.

Selama ini Maura sudah membuang-buang waktunya untuk mengejar dan menunggu seseorang yang salah. Pantas saja selama ini Maura merasa perasaannya seperti ditarik ulur. Jelas saja karna hatinya ingin berbalik ke belakang untuk menggapai Dewa yang selalu menunggunya, tapi otaknya malah maju ingin menggapai Nando.

Pantas saja selama ini perasaannya risau. Ternyata hatinya selalu menjerit.

Pantas saja ungkapan cintanya pada Nando tidak mampu membuatnya lega. Karena memang bukan itu yang diinginkan hatinya.

Dewa satu-satunya yang diinginkan hatinya. Sejak dulu, tanpa Maura sadari. Bahkan sejak pertemuan pertama mereka, Dewa berhasil mencuri perhatiannya. Membuatnya merasa candu dengan kehadiran Dewa. Membuatnya nyaman, bebas menceritakan apapun pada Dewa. Membuatnya mau berubah.

Sayangnya, suara hatinya terlalu kecil untuk bisa Maura dengar jelas. Atau memang sebenarnya hatinya sudah meneriakkan keras-keras, tapi Maura lah yang menutup telinganya?

Iya, Maura selalu mengelak perasaannya pada Dewa. Menganggap Dewa tak lebih dari sahabat. Menyakiti Dewa berulang kali. Hingga akhirnya Dewa berhenti.

"Mulai sekarang jangan ngelak lagi, Ra. Ikutin apa yang hati lo mau. Buang jauh-jauh hipotesa-hipotesa logic lo. Sebelum semuanya terlambat. Selagimasih ada waktu."

"Emang udah terlambat. Dewa udah berhenti sama gue, Nan."

"Berarti sekarang gantian giliran lo yang harus memperjuangkan dia. Selagi masih ada waktu, Ra. Kita nggak selamanya ada di bangku SMA, bareng-bareng kayak gini. Sebentar lagi kita bakal pisah, jalanin hidup masing-masing."

Selagi masih ada waktu.

Benarkah masih ada waktu? Benarkah semuanya masih belum terlambat?

Kenapa rasanya seperti mendengar omong kosong?

***

tbc

Pilih happy ending atau sad ending?

<<< Inesia Pratiwi >>>

Hello, Memory!   [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang