Hello, Memory Ketigapuluh!

Start from the beginning
                                        

Sayangnya mereka terlalu muda untuk menyerah. Mereka tetap semangat mengejar dan menunggu orang yang mereka mau sampai-sampai pada akhirnya di kemudian hari mereka baru sadar telah menyia-nyiakan orang yang selama ini ada untuk mereka.

Mereka terlalu muda untuk bisa memilih dengan benar.

Mereka terlalu muda untuk menyadari siapa yang sebenarnya mereka butuh. Bukan siapa yang mereka mau.

***

Maura tidak menangis. Dia jarang menangisi seseorang. Dan salah satunya orang yang pernah membuat Maura menangis adalah Dewa.

Itu karena Maura lebih sering mengandalkan apa kata logikanya dibanding hatinya. Dia selalu berprasangka baik dan memandang baik segala masalah.

Tapi meskipun tidak menangis, Dewa tetap mengantarnya sampai ke kelas.

Selama perjalanan dari kantin ke kelas, mereka sama-sama diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Tentang seseorang yang mereka kejar dan tunggu.

Saat sampai di depan kelas Maura, mereka berhenti. Maura menatap Dewa dalam diam. Dan Dewa membalas tatapan itu dengan kedua alis yang terangkat.

"Kenapa, Ra?" tanya Dewa. Suaranya terdengar adem di telinga Maura.

"Gue kena karma ya, Wa?"

Dewa menautkan alisnya. "Kok gitu?"

"Gue lebih milih Nando daripada lo. Dan sekarang... Nando lebih milih Mia daripada gue."

Dewa malah tersenyum. Tubuhnya bergeser dari hadapan Maura ke dinding tembok. Menyandar dengan tenang. Matanya menatap lapangan basah yang diguyur hujan.

"Kayaknya kita semua emang dikelilingi karma," ucap Dewa. "Gue, lo dan Nando. Kita sama-sama mengabaikan seseorang dan malah memilih orang lain. Dan akhirnya kita dapet karma kita masing-masing."

"Kisah kita kok rumit banget ya, Wa?"

"Padahal kalo nggak mau dibikin rumit juga bisa."

Maura menoleh. "Caranya?"

Dewa ikut menoleh. "Pake cara lo."

"Maksudnya?" Maura masih belum mengerti.

"Cara yang lo pake ke Aris; tetap menunggu orang yang udah nggak mau ditunggu itu cuma akan jadi sia-sia. Lebih baik berhenti sekarang daripada nanti udah nggak tau lagi caranya berhenti."

Maura kaget. Dia baru sadar kalau kata-katanya untuk Aris juga berlaku untuk dirinya, Dewa dan Nando. Maura jadi merasa seperti orang munafik. Dia bisa menasehati Aris dengan kata-kata itu, tapi dia sendiri tidak bisa menasehati dirinya sendiri.

"Dengan cara berhenti menunggu, itu bisa menyelesaikan kisah rumit ini. Lebih baik lupain dan buka hati buat orang lain kan lo bilang? Itu dia caranya, Ra."

Maura masih diam. Dia menatap dalam-dalam iris cokelat Dewa yang bening. Dan satu pertanyaan pun muncul di bibirnya.

"Apa itu artinya lo juga mau berhenti nunggu gue?"

Dewa tersenyum sebelum memutuskan kontak matanya dengan Maura. "Iya. Gue emang lagi berhenti pelan-pelan. Kalo ngerem mendadak kan bahaya juga." Dewa lalu tertawa sendiri.

Dan tanpa disangka, ucapan Dewa ini ternyata terasa lebih menyakitkan bagi Maura daripada ucapan Nando di kantin tadi. Maura merasakan sekali perbedaannya. Sangat jelas. Yang ini lebih menusuk. Perih. Juga meneriakkan ketidakrelaan.

"Dulu kan gue udah terang-terangan nunjukin cinta sama lo. Sekarang gue juga harus terang-terangan kibarin bendera putih."

Wa, jangan...

Kata-kata itu ingin sekali keluar dari bibir Maura. Maura ingin egois. Ingin tetap ditunggu oleh Dewa tapi ingin juga tetap menunggu Nando.

Tapi satu yang Maura baru ketahui adalah... rasa sakit karena Dewa ternyata lebih sampai ke hati dibanding rasa sakit karena Nando. Maura lantas berpikir, apakah ini juga berarti sebenarnya perasaannya pada Dewa lebih sampai ke hati dibanding pada Nando?

Kenapa baru sekarang lo mulai sadarnya sih, Ra? Kenapa setelah Dewa udah berhenti?! batin Maura kesal. Pada dirinya yang bodoh.

***

tbc

<<< Inesia Pratiwi >>>

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now