Hello, Memory Keduapuluh Sembilan!

Start from the beginning
                                        

"Dewa mana, Ra?"

Nando datang dari belakang. Membuat dua gadis yang berdiri dekat pintu itu menoleh.

"Tuh," Elma menjawab sambil menunjuk ke arah Dewa dan Luna mengobrol.

"Lagi ngapain?"

"Menurut lo kita tau gitu?" Elma lagi yang merespon.

"Nggak mau nyamperin ke sana, Ra?" tanya Nando lagi. Dan kali ini Elma tidak lagi menjawab.

"Ngapain?" Maura malah bertanya balik.

"Ya ajak Dewa pulang."

"Nanti dia juga ke sini kok. Kalo dia nggak ke sini gue kan bisa bareng lo aja, ya kan?"

Nando tidak lagi menjawab. Dalam hatinya merasa kasihan dengan Dewa yang mencintai gadis sangat tidak peka seperti Maura.

***

Benar. Pulang sekolah tadi Maura tidak pulang bersama Dewa. Katanya, Dewa ingin mengantar Luna ke rumah sakit karena ibunya dirawat. Karena Dewa sudah mengenal baik Ibu Luna, maka Dewa ingin sekalian menjenguk.

Dan di sini, di teras rumahnya, Maura duduk sambil memandangi awan gelap. Menunggu Dewa datang. Tadi pagi cowok itu sudah berjanji untuk mengajarinya mengendarai motor sepulang sekolah.

Tapi sampai pukul enam sore, Dewa belum juga muncul.

***

Maura sudah tidak lagi menunggu Dewa setelah bintang-bintang bermunculan. Dia duduk di dalam kamar sambil membaca soal-soal ujian nasional tahun lalu. Tapi ketika sudah pukul setengah delapan malam, pintu kamarnya diketuk.

Maura bangkit dan membuka pintu kamarnya. Betapa kagetnya dia saat orang yang dilihat di balik pintu adalah Dewa.

"Hai," sapa Dewa santai. Tangan kanannya menyandar pada bingkai kusen.

"Kok lo ke kamar gue?" Maura syok. Sesering apapun Dewa datang ke rumah ini dan menganggap seperti rumahnya sendiri, Dewa tidak pernah berani datang ke kamarnya.

"Kenapa? Kita kan temen."

"Tapi kan lo cowok."

"Tapi kan kita cuma temen."

Maura menyerah. Dia menghela napasnya panjang dan tidak membalas lagi. Sementara Dewa tertawa kecil.

"Tadi Bi Kokom yang nyuruh gue ketok pintunya sendiri. Soalnya lo lagi belajar katanya, Bi Kokom nggak berani," kata Dewa lagi sambil menggeser tubuhnya sehingga Bi Kokom muncul di balik tubuhnya.

"Iya, Non, maaf ya," ucap Bi Kokom sambil tersenyum canggung.

"Ya ampun," Maura terkekeh. "Gapapa kali, Bi. Emangnya aku pernah marahin Bibi?"

"Lo kan kalo lagi serius belajar emang galak, Ra," ceplos Dewa.

Maura mencubit pipi Dewa lalu menariknya keluar. "Dari mana aja lo jam segini baru dateng? Ayo belajar motor!"

"Ahh!" Dewa meringis kesakitan. Sampai di depan pintu rumah Maura baru melepas cubitannya. "Gue kan abis dari rumah sakit, Ra. Kalo gini caranya bentar lagi gue balik lagi ke rumah sakit deh, CT Scan pipi gue."

"Lebay ih." Maura tertawa. Melupakan kekecewaannya menunggu Dewa tadi sore.

"Tuh motornya satpam rumah gue. Berhubung gue nggak punya motor matic makanya gue minjem. Jadi, lo jangan sampe ngerusakin tuh motor ya!" kata Dewa sambil menunjuk motor berwarna hitam yang terparkir di depan pintu rumah Maura.

Maura tertawa lagi. Ibu jarinya diacungkan pada Dewa. "Percaya sama gue!"

Harusnya Dewa tidak boleh percaya, karena baru saja mencoba menjalankan motor, Maura sudah menabrakan motor itu ke bak sampah tetangga.

"Lo bisa naik sepeda nggak sih sebenernya?" tanya Dewa, berdiri di depan motor sambil memegangi stang.

"Bisa lah." Maura menjawab sangat yakin. "Itu tadi abisnya gas-nya ngagetin banget."

"Yaudah coba sekali lagi. Narik gas-nya pelan-pelan aja, jangan lupa direm juga."

Maura mengangguk. Semangatnya benar-benar tinggi. Bahkan sampai di percobaan kedua dia terjatuh dari motor, keinginannya untuk terus mencoba masih belum luntur. Berkali-kali jatuh, Maura tetap ingin mencoba sampai bisa.

Sampai akhirnya setelah berulang kali jatuh dan mencoba, Maura berhasil melajukan motor tanpa menabrak ataupun jatuh. Jalannya mulus tanpa kendala. Memutari komplek dengan Dewa yang menjaga di belakangnya. Senyumnya terus mengembang karena salah satu keinginan terbesarnya akhirnya bisa tercapai.

"Yeayy! Akhirnya gue bisa naik motor yeayy!!" serunya sepanjang perjalanan pulang ke rumah.

Di belakangnya, Dewa ikut tersenyum senang. Meskipun senyumnya sesungguhnya mengandung arti lain.

Dengan cara ini Dewa sengaja ingin menjauh perlahan. Ini adalah langkah pertama. Karena jika Maura sudah bisa mengendarai motor ke sekolah sendiri, tentu dia sudah tidak lagi bergantung pada Dewa setiap hari.

Maka dengan sendirinya, perlahan jarak mereka pun mulai terbentuk.

Dan perlahan Dewa akan bisa berhenti.

***

Ketika tiba saatnya aku berhenti menunggumu, bukan berarti aku berhenti mencintaimu. Kau hanya telah kehilangan seseorang yang selalu ada untukmu.
-Dewa Rama-

tbc
<<< Inesia Pratiwi >>>

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now