"Do, gue punya temen nih. Nah temen gue ini punya temen." Dewa berhadapan dengan Aldo.
"Trus temennya temen lo punya temen lagi?"
"Iya. Nah, temen si temennya temen gue ini pernah curhat sama gue."
Aldo mulai gemas. "Trus apa faedahnya dari semua ini?"
"Dengerin gue dulu." Dewa menepuk-nepuk bahu Aldo. "Jadi... temen si temennya temen gue ini curhat sama gue kalo dia suka sama cewek dan lagi nunggu cewek itu. Tapi cewek itu nggak mau sama dia karna udah suka sama orang lain. Malah secara nggak langsung nyuruh dia buat jangan nunggu tuh cewek lagi. Nah, dia jadi bingung tuh masih mau nunggu apa enggak."
Aldo mengangguk-angguk sok paham. "Emangnya lo lagi suka sama siapa?"
"Lah, bukan gue. Itu temen si temennya temen gue."
"Ya elah, udah hatam gue mah sama modus curhat kayak gini. Woles aje."
Dewa menggaruk-garuk kepalanya. Aldo ini karena keturunan Betawi, kalau ngomong jadi suka nyablak gini. To the point. Padahal mukanya bule.
"Yaudah anggep aja ini bukan tentang gue," kata Dewa. "Jadi gimana? Mending tetep nunggu apa enggak?"
Aldo berpikir dulu sesaat sebelum menjawab. Wajahnya dibuat sok serius. "Kalo gue pribadi sih ya... mending milih yang pasti-pasti aja. Kalo dia sendiri aja nggak mau ditunggu, ya ngapain gue capek-capek nunggu? Buat apa? Biar apa? Kan sia-sia. Cuma buang-buang waktu. Mau bilang semua karna cinta? Ya elah, pembuktian cinta kan bukan tentang seberapa lama gue nunggu dia. Kalo gue sih lebih pake logika aja, soalnya kalo pake cinta mulu lama-lama gue jadi bego."
Dewa menelan baik-baik ucapan Aldo. Semua yang dikatakan Aldo menang benar. Dewa pun berpikiran yang sama. Tapi entah kenapa masih ada secuil perasaan di hatinya yang masih ingin menunggu Maura.
"Emang siapa sih? Lo lagi nungguin siapa?" Pertanyaan Aldo memecah lamunan Dewa.
"Oh iya besok kan sekolah, Tong! Balik aja yuk?" ajak Dewa sambil merangkul Aldo, mengalihkan pertanyaan Aldo. Aldo pun cuma bisa menurut sambil memaki Dewa.
Dan seiring langkah kakinya keluar dari kafe, Dewa pun sudah menentukan pilihannya; antara menunggu atau berhenti.
***
Ketika Maura memakai sepatunya, Dewa muncul dari pagar sambil memutar-mutar kunci mobilnya. Cowok yang berseragam putih-putih itu tersenyum dan melangkah ke arah Maura.
"Hai," sapanya. "Langsung berangkat nih kita?"
Maura pun membalas senyumnya. Dia berdiri dan mencubit pipi Dewa. "Sombong, jarang ke sini!" serunya. "Pamit dulu sama Mama Papa bentar," lanjutnya. Dewa pun mengikuti ke dalam rumah untuk pamit pada Pras dan Finda.
Setelah pamit, mereka masuk ke mobil Dewa dan melaju ke rumah Nando. Namun di perjalanan, Dewa menanyakan sesuatu pada Maura.
"Lo masih mau belajar motor, Ra?" tanya Dewa yang langsung dibalas anggukan semangat oleh Maura.
"Mau banget! Dari dulu gue pengen banget ke sekolah bisa pake motor. Nggak mesti bawa mobil sendiri atau dianter Mama atau bareng sama lo gini."
BẠN ĐANG ĐỌC
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Keduapuluh Sembilan!
Bắt đầu từ đầu
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)