Hello, Memory Keduapuluh Delapan!

Start from the beginning
                                        

***

Abi dan keluarganya pulang dari rumah Maura sekitar pukul tujuh malam. Di saat Aris juga masih berada di rumah Maura. Cowok Bandung itu ternyata masih betah berada di sana, padahal Maura sudah enggan menemaninya.

"Gue mandi dulu, ya. Belom mandi tadi sore," kata Maura pada Aris. Sekaligus menghindar.

"Oke, aku tunggu di sini, ya," balas Aris yang tidak lagi dihiraukan Maura. Cowok itu duduk di depan TV sendirian, baru saja ditinggal oleh Pras dan Finda ke kamar.

Beberapa lama sejak Maura pamit untuk mandi, suara ketukan pintu rumah Maura terdengar. Lalu pintu rumah itu terbuka diikuti ucapan salam seorang cowok. Sontak Aris langsung memanjangkan lehernya untuk melihat siapa tamunya. Apalagi saat dia tahu kalau Bi Kokom hanya menjawab salam itu dari dapur tanpa menghampiri si tamu.

Suara langkah kaki terdengar mendekati tempat Aris berada. Lalu berhenti tepat di samping sofa yang didudukinya.

Tanpa kata, mereka hanya saling tatap. Sama-sama menerka siapa yang kini sedang berhadapan dengan mereka masing-masing.

"Den Dewa, di luar ujan ya?"

Suara Bi Kokom dari arah dapur otomatis memutuskan kontak mata mereka berdua. Dewa pun menoleh dan tersenyum pada Bi Kokom, lalu mengangguk. "Tapi nggak deres sih, Bi," jawabnya.

Bi Kokom hanya mengangguk-angguk lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Sementara Dewa memutuskan untuk duduk di sofa yang berbeda dengan Aris. Mengangkat kaki kanannya ke atas lutut kiri, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Mengabaikan kehadiran Aris.

Padahal, sejak kedatangan Dewa, Aris selalu memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, berulang-ulang.

"Sorry, lo siapa ya?" Akhirnya, mulut Aris sudah tidak mampu menahan kegatalannya lagi untuk bertanya pada Dewa. Saking penasarannya.

Merasa Aris sedang berbicara padanya, Dewa mengangkat kepalanya dan balas menatap Aris. "Gue?" tunjukknya pada diri sendiri.

Aris mengangguk.

"Lo sendiri siapa?" Dewa malah bertanya balik.

"Gue mantan pacarnya Maura," jawab Aris bangga.

"Oh, cuma mantan kan?" Ada nada remeh pada suara Dewa yang membuat Aris jadi agak kesal.

"Lo belom jawab pertanyaan gue," kata Aris lagi.

"Menurut lo orang yang masuk tanpa pencet bel dulu, artinya siapa?"

Aris semakin kesal. Melihat gaya santai cenderung tengil Dewa membuatnya keki. Merasa seperti disepelekan. "Yang gue tau sih Maura belom punya pacar. Gue juga nggak pernah liat muka lo di antara keluarganya Maura. Jadi kesimpulannya lo pasti cuma temen barunya Maura doang. Dan kalo lo ke sini buat ketemu Maura, mending lo pulang lagi aja. Maura nggak ada di rumah."

Mendengar ucapan panjang Aris, Dewa justru malah tertawa. "Lo sendiri kenapa nggak pulang aja?"

"Gue mau nunggu Maura."

"Yaudah gue juga."

"Emangnya lo siapa, hah?"

"Gue Dewa Rama dari Kerajaan Kosala, raja legendaris yang terkenal dari India, keturunan Dinasti Surya. Sini makanya kenalan dulu. Kalo nggak, belajar sejarah dulu deh sana biar kenal gue."

Diam-diam, dari dapur Bi Kokom mendengar percakapan mereka. Dan langsung terkekeh begitu mendengar penjelasan Dewa. Sementara Aris, cowok berkacamata bingkai hitam itu justru mengerutkan keningnya.

"Nggak penting," gumam Aris setelahnya. Dia pun menganggap kalau Dewa adalah cowok aneh.

"Oh iya, gue mau jelasin sesuatu," kata Dewa lagi, sambil merubah posisi duduknya jadi lebih membungkuk dengan kedua siku yang bertumpu pada lutut dan kedua tangannya bertaut. "Satu: Maura emang belom punya pacar, karna gue belom nembak dia. Dua: tau darimana lo tentang keluarganya Maura? Setau gue, cowok pertama yang ketemu sama keluarganya itu gue kok. Tiga: lo bilang Maura lagi pergi? Asal lo tau aja ya, yang nyuruh gue dateng ke sini aja dia. Jadi mending lo nggak usah kebanyakan ngomong sama gue dan duduk manis aja selagi Maura belom nyuruh lo pulang." Dewa menutup penjelasannya dengan senyum miring penuh kemenangan.

Aris mengepalkan kedua tangannya di atas paha. Menahan diri untuk tidak memaki dan menghajar Dewa. Rahangnya sudah mengeras dilengkapi dengan tatapan matanya yang penuh marah.

Dan demi menjaga harga dirinya, Aris tidak menyerah sampai di situ. "Seenggaknya gue pernah punya status sama Maura. Nggak kayak lo yang paling-paling cuma dianggep temen."

"Seenggaknya gue bukan bekas kayak lo."

Sayangnya, ucapan Dewa yang terakhir membuat Aris tidak bisa lagi menahan kekesalannya lagi. Dia langsung berdiri dan meninju pipi kanan Dewa sehingga membuat Bi Kokom refleks berteriak. Maura, Pras dan Finda pun kaget dan langsung keluar dari kamar masing-masing. Melihat aura panas menyelubungi dua cowok yang saling tatap itu, Pras maju dan berdiri di tengah-tengah mereka.

"Ada apa ini?"

"Maaf, Om." Dewa lebih dulu membuka suara. Kepalanya menunduk seiring permohonan maafnya karna sudah mengacau di rumah ini. Pipinya yang sakit tidak dipedulikannya. Kalau hanya tonjokan seperti ini saja sih Dewa sudah sering merasakannya di rumah, dengan tamu-tamu Maminya.

Permohonan maaf pun ikut keluar dari mulut Aris. Cowok itu sudah sadar dari kemarahannya tadi.

"Ngapain sih kalian? Kenapa?" Maura angkat bicara sambil mendekati mereka. "Kayak anak kecil aja!"

"Dia yang cari masalah duluan, Ra," jawab Aris menunjuk Dewa.

Dewa yang tahu-tahu disalahkan, hanya mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis pada Aris. Dia tidak mengatakan apa-apa ketika Pras menanyakan kebenaran ucapan Aris. Yang Dewa ucapkan hanyalah permintaan maaf.

"Dewa, jawab gue! Kenapa?" Maura bertanya, tegas.

Dewa masih juga enggan menjawab. Malas menjelaskan panjang lebar kalau tidak ada bukti yang mendukung penjelasannya. Percuma saja karena Dewa yakin, cowok sialan di depannya ini pasti akan tetap membela dirinya sendiri. Tetap saja Dewa yang akan disudutkan.

Dewa malas untuk berdebat di sini. Dewa masih menghargai Maura dan orangtuanya.

"Udah. Kalo gitu mending kalian pulang ke rumah masing-masing aja sekarang. Lupain masalahnya, tenangin diri kalian." Pras membuat keputusan untuk mengkondisikan keadaan.

Dewa pun mengangguk lalu pamit lebih dulu. Dan tak bosan-bosannya dia mengucapkan permohonan maaf. Pras pun mengerti dan menepuk-nepuk bahunya. Pras tahu, cara menyalurkan kemarahan laki-laki memang dengan saling hajar. Makanya dia paham.

Sampai ke pagar rumah, Maura mengantar Dewa pulang. Di belakang mereka, Aris mengikuti. Tapi belum juga melangkah melewati pagar, panggilan Aris membuat Maura dan Dewa berhenti sesaat.

"Kamu percaya aku kan, Ra? Emang dia duluan yang cari gara-gara sama aku tadi," kata Aris.

"Kenapa?"

"Dia ngerendahin aku."

Dewa muak mendengarnya lagi. Dia pun ingin segera pergi, tapi Maura menahan tangannya. "Pipi lo gapapa, kan?" tanya Maura.

"Udah biasa," jawab Dewa.

"Gue nggak peduli siapa yang salah, siapa yang membela diri." Maura berbicara pada Dewa, tapi secara tersirat juga berbicara pada Aris. "Tapi gue tetep percaya sama lo, Wa."

Sontak, Dewa pun tersenyum dan menepuk kepala Maura. Akhirnya... untuk pertama kalinya, tanpa perlu banyak usaha atau kata-kata, akhirnya Maura mengerti dirinya.

"Dan buat lo, Ris," Maura menoleh pada Aris. "Gue nggak tau apa tujuan lo dateng ke sini. Tapi kalo tujuan lo masih sama kayak dulu, jawaban gue pun masih sama kayak dulu. Ada atau nggak ada Dewa sekalipun, gue tetep nggak bisa balik sama lo lagi."

"Kenapa, Ra? Kenapa? Padahal aku selalu sabar nunggu kamu." Aris jelas-jelas mengeskpresikan kekecewaan dan kesedihan di wajahnya.

"Bukan karna lo buruk, tapi karna kita emang udah selesai. Dan gue nggak suka memulai lagi sesuatu yang udah gagal. Karna percuma, endingnya akan tetep sama."

Maura menepuk pelan bahu Aris, penuh pengertian. "Lebih baik lo lupain gue. Dan buka hati lo buat oranglain. Tetap menunggu orang yang udah nggak mau ditunggu itu cuma akan jadi sia-sia. Lebih baik berhenti sekarang daripada nanti udah nggak tau lagi caranya berhenti."

***

tbc

<<< Inesia Pratiwi >>>

|

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now