Hello, Memory Keduapuluh Delapan!

Start from the beginning
                                        

Setengah bingung, Maura kembali menyantap makanannya setelah mengangkat bahunya merespon keanehan Abi. "Nggak jelas," gumam Maura.

"Di mana?" Abi bertanya lagi.

"Apanya?" Maura menoleh lagi.

"Sekolahnya. Di sini apa Bandung?"

"Siapa?"

"Yang semalem."

Maura menghela napas panjang. Sendoknya dibanting di piring hingga berdenting. Matanya memicing ke arah Abi, curiga. "Lo kenapa sih? Aneh banget. Ngomong sama gue kok jadi gini?"

"Gue emang gini."

"Tapi biasanya sama gue enggak. Aneh banget deh." Dengan cuek, Maura kembali menghabiskan makanannya. Dipikirnya barangkali Abi sedang dalam mood yang tidak bagus.

Namun setelah Maura menghabiskan makanannya dan membawa piring kotornya ke tempat pencuci piring, Abi tiba-tiba bersuara lagi.

"Mending nggak usah temenan sama orang kayak gitu. Kayaknya bandel," begitu kata Abi. Sontak ucapan Abi itu membuat Maura marah. Siapapun itu, Maura paling tidak suka jika ada orang yang menilai rendah oranglain tanpa tau kebenarannya.

"Lo nggak tau Dewa itu kayak gimana. Lo nggak tau apa yang udah Dewa lalui. Jadi jangan asal main menyimpulkan cuma karna penampilan luar dia kayak gitu. Karena orang baik-baik itu nggak selalu tampilannya kalem kayak lo." Nyaris dengan nada tinggi, Maura menjawabnya. "Lagian lo kenapa sih, Bi? Lo bukan orang yang suka ngomentarin oranglain kayak gini, lo nggak gini kok biasanya. Oh... apa emang Abi yang selama ini gue kenal udah berubah ya?"

Dengan mata terpejam, Abi tidak lagi menjawab. Bahkan membalas tatapan Maura saja ia tak berani. Abi tahu ekspresi Maura saat ini pasti adalah ekspresi kekecewaan. Dia hanya bisa merutuki dirinya sendiri yang telah bersikap berlebihan ini.

Dan karena tak ada tanggapan lagi dari Abi, Maura lalu berlalu dengan perasaan yang masih kesal. Dia masuk kembali ke kamarnya dan mengecek ponselnya. Dua panggilan tak terjawab tertera dari nomor Dewa dua menit yang lalu. Maura pun memutuskan untuk menelepon balik Dewa.

"Rumah lo masih rame ya, Ra?" tanya Dewa setelah mereka saling menyapa halo.

"Iya, kenapa?"

"Gue pengen ajak keluar tadinya."

"Hmm, kayaknya nggak bisa dulu deh, Wa."

"Oke, gapapa. Gue ajak cewek lain aja deh."

"Oh yaudah." Maura mengangkat bahunya cuek. Lalu menjatuhkan tubuhnya ke kasur.

"Nggak ada cemburu-cemburunya sama sekali ya," gumam Dewa di seberang sana.

"Apa?" Maura tidak bisa mendengar.

"Itu tadi ada kecoak kawin," jawab Dewa asal. Membuat Maura memutar bola matanya malas.

Setelah sambungan mereka terputus, tak lama pintu kamar Maura dibuka kasar oleh segerombolan sepupu perempuannya yang baru pulang jalan-jalan. Empat orang perempuan yang usianya tak beda jauh dengan Maura itu duduk di atas kasur Maura.

"Cowok yang semalem anak orang kaya ya, Ra?" Tiba-tiba, salah satu sepupunya bertanya –kakak Abi, diikuti tatapan penasaran dari sepupunya yang lain.

"Kenapa emang?" tanya Maura balik.

"Tuh tadi mobilnya keren abis!"

"Tadi? Kapan?"

"Lho, emang bukannya dari sini?"

Maura menggeleng. Masih bingung.

"Tadi dia ada di depan, trus pergi. Kirain abis dari sini."

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now