"Sebelumnya gue benci banget denger ucapan itu. Atau mungkin takut lebih tepatnya. Tapi lo berhasil bikin gue sadar dan mau berubah. Gue jadi lebih banyak bersyukur karna ternyata selama ini gue punya orang-orang yang masih peduli sama gue." Dewa lalu tersenyum untuk Maura. "Makasih ya, Ra. Berkat lo gue bisa berubah."
Maura masih tetap diam. Tapi ritme jantungnya berdebar kacau. Dia masih tidak percaya bisa merubah hidup Dewa. Sambil terus berpikir apakah benar jika hidupnya juga berubah berkat Dewa? Seperti yang dikatakan Finda.
Selagi Maura mencari jawaban itu, Dewa menurunkan tangannya dan menyisakan satu tangannya ke dalam genggaman Dewa. Memasukkan tautan tangan mereka ke dalam saku jaket Dewa.
"Masuk, yuk. Dingin tau!" kata Dewa, yang kemudian berhasil membuat Maura mencibir dan membuka suaranya.
"Yang tuan rumahnya siapa ya?"
Dewa hanya tertawa lalu melangkah ke pagar rumah, yang otomatis menyeret Maura juga karena tangannya berada di genggaman Dewa.
"Wa... ih, tunggu! Di dalem banyak keluarga gue." Maura mencoba mencegah.
"Terus kenapa?" Dewa tetap terus berjalan santai.
"Ya... ya... banyak keluarga gue pokoknya." Maura sampai bingung harus menjelaskan seperti apa. Seumur hidupnya belum pernah ada temannya yang bertemu dengan keluarga besarnya. Apalagi cowok.
"Ya udah, emangnya lo nggak mau ngenalin gue ke keluarga lo?"
"Ya... t-tapi..."
"Udah ah, dingin tau!" paksa Dewa sambil mengedipkan sebelah matanya dan semakin meremas tangan Maura dalam genggamannya. Berjalan semakin cepat memasuki rumah Maura.
"Ish! Tapi baju lo bau rokok tau!" Maura mencari alasan.
Masih dengan santai, Dewa membuka jaketnya dan melemparnya asal ke pepohonan dekat pagar rumah Maura. "Jaketnya doang kok, baju gue enggak. Mulut gue juga enggak. Orang yang ngerokok bukan gue," ucap Dewa lalu tersenyum penuh kemenangan dan kembali menggenggam tangan Maura untuk bisa menariknya menuju rumah.
"Yaudah nggak usah pake gandeng-gandeng!" seru Maura sambil melepas tautan tangan mereka. Berjalan cepat mendahului Dewa. Karena berada di genggaman tangan dingin Dewa semakin membuat debaran jantung Maura tak karuan. Tangan Dewa memang terasa dingin, tapi entah kenapa bisa sangat terasa nyaman.
Jika Maura yakin ini bukan cinta, lalu ini apa?
***
"Rame banget ya rumah lo," bisik Dewa sebelum melangkah melewati pintu rumah Maura yang terbuka lebar. Kepalanya melongok ke sisi dalam rumah.
"Dibilang keluarga gue lagi pada ngumpul," balas Maura setengah malas.
"Gue jadi berasa kayak lagi mau lamaran."
Maura hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak lalu masuk ke rumah lebih dulu daripada Dewa. Di ruang tamu tempat Pras dan para Om-nya tadi mengobrol, Maura kemudian memperkenalkan Dewa.
"Om," sapa Dewa pada Pras. Kepalanya mengangguk sopan lalu mendekati Pras untuk mencium tangannya. Juga pada Om Maura.
"Lho, ada kamu, Wa?" Pras kaget sekaligus bingung.
"Iya, Om, boleh kan saya ke sini?"
Pras tertawa. "Kamu nih. Ya boleh lah. Sana sana masuk, banyak sepupu-sepupu Maura juga tuh di dalam."
"Iya, Om, makasih. Permisi dulu ya."
Setelah Dewa dan Maura pergi dari para bapak-bapak itu, Pras langsung mengklarifikasi pada adik dan kakaknya bahwa cowok yang baru saja menyalami mereka adalah teman sekolah Maura.
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Keduapuluh Tujuh!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)