Chapter 1 | Call Me Zia

Începe de la început
                                    

***

"Toby aku lapar! Bisakah kau cepat sedikit? Tidak usah berlagak memasak seperti chef, aku bisa mati kelaparan disini!" omelku pada kakakku yang sedang memasak, seraya memindah-mindahkan channel tv dengan bosan. Hanya suara tertawa yang kudengar dari dapur, yang jaraknya hanya dua meter dari tempatku duduk bermalas-malasan di sofa.

"Toby!" aku berteriak gemas lalu mendengus kesal, mendengar ia terkekeh-kekeh disana.

"Kau ini tidak sabaran sekali? Sini bantulah aku memindahkan piring-piring ini ke meja makan."

Aku melangkah gontai. Saat tiba didekat Toby aku memelototinya, "Lama sekali kau ini. Cara memasakmu seperti nenek-nenek, aw!" Sialan. Toby mencubit pipiku lumayan kencang. "Cerewet sekali. Harusnya kau bersyukur aku masih mau memasak makanan untukmu."

Aku memindahkan spagetti bolognesse ke atas meja. "Iya iya. Kapan kita mulai makan? Apa hanya ini yang kau masak? Astaga. Padahal kau memasak lama sekali." Kataku tak percaya. Aku duduk di meja makan menunggu Toby yang entah sedang apa ia, berjongkok didepan oven seperti itu.

"Aku juga membuatkan Macaroni and Cheese kesukaanmu, Zee." Toby tersenyum sangat manis. Ah, kakakku ini memang yang terbaik!

"Olala... Gracias, bro." Celotehku riang seraya mencomot lempengan keju yang mengeras di atas Makaroni lalu memakannya.

"Hanya itu? Itu saja caramu berterima kasih?" Toby memperlihatkan senyuman miringnya. Aku memutar bola mata. "Lalu apa yang kau harapkan?" tanyaku kesal. Ia menunjuk pipinya seraya menaik-turunkan alis.

"Oh, Toby Christopher McFoy, kita sudah sepakat untuk tidak melakukan itu sejak dua tahun yang lalu."

"Ayolah, satu kecupan saja."

Aku melipat tangan didepan dada. "Itu sangat menggelikan! Aku tidak mau!"

"Baiklah kalau begitu aku saja yang menciummu, bagaimana?"

What? Mataku melotot seakan ingin meloncat keluar dari rongganya. "Kau gila." ujarku acuh, memakan spagettiku tanpa mempedulikan Toby yang menatapku lekat, dengan dua tangan menopang dagunya.

"Kalau diperhatikan, kau ternyata cantik juga ya. Gaya rambutmu yang sekarang sangat cocok denganmu."

Aku mendelik. "Berhenti menggodaku, sialan!"

"Whoa, chill sist." Ia mengangkat tangannya ke udara.

"Jika seperti itu caramu berterima kasih pada pria yang baru saja memujimu, bagaimana kau akan mendapatkan pacar? Bagaimana pria-pria di sekolah akan tertarik padamu?" ia tertawa sarkastis. Aku hanya menampakkan wajah jengah.

"Pertama, kau kakakku. Caraku berterima kasih padamu dengan orang lain tentu berbeda." Garpuku menunjuk-nunjuk wajah Toby yang menatapku tanpa ekspresi. "Kedua, aku tidak tertarik dengan pria-pria bodoh di sekolah. Mereka semua... bodoh." Jelasku sambil sesekali menjilat bibirku yang belepotan saus. "Berteman saja aku tidak sudi, apalagi memacari mereka." Aku bergidik, seakan semua pria di sekolah adalah monster yang sangat menjijikkan.

Toby tertawa renyah. Harus ku akui ia memiliki wajah yang tampan dan senyuman yang manis sekali. Rambutnya yang berwarna cokelat pekat itu sangat cocok dengan iris matanya yang berwarna hijau cerah, sewarna batu Topaz. Hidungnya yang mancung dan kulitnya sangat putih, terkadang membuatku luar biasa iri. Kami memang tidak terlihat seperti bersaudara, karena begitu banyak perbedaan fisik. Toby sangat mirip Dad—hanya saja rambut Dad berwarna pirang kecokelatan—sedangkan aku mirip Mom. Tapi bila diperhatikan dengan seksama, aku memiliki garis wajah yang mirip dengan Toby. Bentuk wajah kami pun sama-sama oval. Namun astaga, mengapa ia begitu tampan! Seandainya bukan kakakku, sudah pasti aku ingin menikah dengannya. Hidup bahagia bersamanya hingga maut memisahkan kami.

Perfect FamilyUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum