Hello, Memory Keduapuluh Lima!

Start from the beginning
                                        

"Kok lama banget seharian baru satu?"

"Kan aku bikinnya pake hati, Ma, jadi mesti perfect!" jawab Maura sambil mengedipkan sebelah matanya.

Finda tersenyum, tangannya mengusap kepala Maura. "Yang kayak gini masih mau bilang nggak cinta?" sindir Finda yang membuat Maura menutup mulutnya.

"Kalo dilihat-lihat, kamu agak berubah ya sekarang?"

Maura mengernyit. Menghentikan aktifitasnya sejenak. Dia membalas tatapan Finda dengan bingung. Ternyata bukan hanya dirinya saja yang merasakan perubahan itu, tapi Finda juga.

"Mama ngerasain itu juga?"

Finda mengangguk. "Coba deh dipikir, kamu nggak pernah kan punya temen cowok yang segini deketnya? Dari dulu juga kamu nggak pernah bawa temen ke rumah. Mana pernah kamu dulu peduli sama urusan oranglain? Kamu juga nggak pernah mau repot-repot nyiapin hadiah sampe kayak gini."

Iya, Maura juga sadar dengan semua perubahan itu.

"Apa menurut kamu kepindahan kita ini yang ngerubah kamu? Bukannya Dewa?"

"Nggak ada yang bisa ngerubah aku, Ma, selain diri aku sendiri," jawab Maura.

"Oke, bener. Mama ganti pertanyaannya; apa menurut kamu kepindahan kita ini yang mendorong kamu untuk berubah? Atau kehadiran Dewa?"

Maura belum menjawab. Selama ini dia pikir kepindahannya ke Bogor lah yang menyebabkan dirinya berubah. Tetapi Maura tidak pernah berpikir apa Dewa lah yang mendorongnya untuk berubah tanpa disadari?

"Pikirkan jawabannya, ya," ucap Finda lagi. "Dan jangan tidur kemaleman."

Setelah mengecup puncak kepala Maura, Finda berbalik dan kembali ke ruang kerjanya –memainkan pianonya. Meninggalkan Maura yang mencoba mencari jawaban yang selama ini terlewatkan olehnya.

Tapi... kenapa Dewa? Emang Dewa ngelakuin apa sampe gue bisa bikin gue berubah?

***

Besok sudah hari H-nya. Dua lukisan yang Maura buat pun sudah kering semua. Dalam ukuran kanvas 40x60cm, wajah Dewa sudah terlukis di sana. Yang satu wajahnya yang tersenyum lebar dengan seragam putih. Yang kedua wajahnya yang terdiam dengan kaos dan jaket –style andalannya sedang menatap dingin ke samping; seperti ekspresinya ketika 'sesuatu' terjadi di rumahnya.

Sebelumnya Maura sudah bekerjasama dengan Nando untuk datang ke rumah Dewa besok sore. Berhubung Maura tidak tahu dimana rumah Dewa, maka Nando yang akan menjadi penunjuk jalannya.

Besok pukul tiga sore Nando akan datang ke rumah Maura dan mereka berangkat bersama-sama ke rumah Dewa setelah ashar. Menghindari jalanan yang akan padat menjelang pergantian tahun.

Maura tahu, Dewa bukan orang yang betah berdiam diri di rumah. Maka agar besok Dewa tidak ke mana-mana ketika mereka datang, Maura akan menghubungi Dewa.

"Kenapa, Ra?!"

Ketika teleponnya diterima Dewa, Maura bisa mendengar suara bising di belakang Dewa. Seperti suara musik dan nyanyian yang didukung sorakan penontonnya. Maura pun menebak jika sedang menonton live music.

"Besok sore gue sama Nando mau ke rumah lo ya," kata Maura.

"Hah?! Apaan, Ra?!" Dewa berteriak.

Maura menghela napas, lalu ia pun ikut menjawabnya dengan teriakkan. "Besok sore gue sama Nando mau ke rumah lo!"

"Hah?! Ngapain?!"

"Lo bisa keluar bentar dari situ nggak sih?!"

"Oh, oke oke bentar."

Semakin lama suara bising itu semakin hilang di telinga Maura. Berganti dengan suara knalpot kendaraan yang berlalu lalang, walaupun tidak sebising sebelumnya.

"Gue udah di luar nih. Ngapain mau ke rumah gue, Ra?" tanya Dewa lagi. Volume suaranya sudah normal.

"Capek gue teriak-teriak," adu Maura. "Mau tahun baru-an bareng."

"Jangan di rumah gue lah."

"Tapi gue maunya di rumah lo. Gue kan belom pernah ke rumah lo."

"Hmm, besok banget ya, Ra? Besok sih gue ada new year's eve. Ini gue juga udah di Jakarta."

Maura diam. Tiba-tiba wajahnya berubah menjadi murung. Maura pikir sepertinya Dewa lupa dengan ucapannya waktu itu. Mungkin saking sudah terbiasanya dilupakan saat hari ulangtahunnya, Dewa jadi sama sekali tidak peduli lagi dengan tanggal itu.

Dewa pun jadi lupa kalau ia meminta hadiah spesial dari Maura. Yang sudah Maura siapkan dari jauh-jauh hari.

"Oh gitu." Maura bersuara lagi, menutupi nada kecewanya. "Ya udah deh gapapa."

"Lo ikut gue aja deh yuk, tahun baru-an di sini. Besok gue jemput. Tahun baru-an di rumah gue mah nggak enak, Ra. Lo tau sendiri lah gimana rumah gue. Mau nggak, Ra?"

"Dewa, lo lupa ya?" Bukannya menjawab, Maura malah bertanya balik. Pertanyaan yang membuat Dewa mengerutkan keningnya.

"Lupa apaan?" tanya Dewa, bingung.

Maura menutup matanya. Bibirnya mengulas senyum tipis. Entah kenapa perasaannya jadi sakit. Padahal Dewa tidak salah apa-apa.

Tapi entah kenapa Maura kecewa. Sedih.

Mungkin karena usahanya membuat hadiah spesial untuk Dewa telah sia-sia. Toh, Dewa tetap saja tidak peduli dengan hari ulangtahunnya sendiri.

***

tbc

Maaf ya agak lama updatenya :*

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now