Hello, Memory Keduapuluh Lima!

Start from the beginning
                                        

Maura pikir hati Dewa sudah berubah menjadi es yang beku.

"Maaf, Wa, gue nggak tau," kata Maura.

Dewa menghapus airmata Maura di pipinya. "Gapapa. Gue nggak bisa marah sama lo."

"Tadi lo marah kok."

"Gue cuma diem kan tadi. Padahal biasanya gue bisa ngebentak orang yang bahas tentang ulangtahun gue. Tapi nggak tau kenapa sama lo gue nggak bisa marah."

"Jangan pernah marah. Gue takut."

Dewa langsung tersenyum. "Jangan pernah pergi. Gue takut."

Maura ikut tersenyum. Suasana di antara mereka kembali cair seperti semula. Tapi, Maura merasa belum puas sampai di sini. Rasanya Maura ingin sekali saja membahagiakan Dewa, seperti Dewa yang selalu membuatnya bahagia.

"Dewa," panggil Maura.

"Hm?" Dewa mengangkat alisnya.

"Mau gue kasih tau rahasia nggak?"

Dewa mengernyit. "Apaan?"

"Gue nggak tau tanggal lahir gue," jawab Maura sambil tersenyum.

"Lah, 17 Juli kan?"

"Itu tanggal gue ditaruh di depan pintu panti asuhan. Tanggal sebenernya gue lahir, nggak ada yang tau."

Dewa menelan ludahnya. Diam tanpa kata. Mencoba mencari kesedihan di mata Maura, tapi nihil. Mata gadis itu ikut tersenyum dengan bibirnya.

"Gue nggak tau ya... mana yang lebih sedih; nggak pernah diucapin selamat ulangtahun sama orangtua, atau nggak pernah tau kapan dilahirin ke dunia." Maura kembali melanjutkan, "tapi yang gue tau, kita harusnya tetep bisa bahagia. Setidaknya kita bisa dilahirkan di dunia. Karna ada banyak jutaan bakal calon manusia yang gagal lahir ke dunia. Contohnya gue, gue adalah salah satu dari yang nyaris gagal lahir itu."

Dewa pikir, kisahnya adalah yang paling menyedihkan. Dewa pikir, kenyataannya adalah yang paling menyakitkan. Tapi ucapan Maura menyadarkannya bahwa semenyakitkan apapun keadaannya, setidaknya masih ada banyak orang yang jauh lebih merasa sakit dari dirinya. Seharusnya ia bisa bersyukur masih memiliki orangtua. Seharusnya ia bersyukur masih memiliki tanggal lahir untuk diperingati. Masih banyak juga orang yang peduli padanya, sekalipun orangtuanya tidak.

Seharusnya Dewa bisa belajar lebih banyak dari Maura.

"Ra..." Dewa memanggil.

"Hm?"

"Seharusnya dari dulu kita ketemu."

Maura tersenyum. "Gue juga pernah mikir gitu."

"Kalo gitu gue mau minta kado paling spesial. Yang pake hati. Yang oranglain nggak bisa kasih selain lo."

Senyuman Maura semakin lebar. Maura senang akhirnya bisa merubah prinsip Dewa. Setidaknya bukan hanya hidupnya yang berubah sejak kepindahannya ke Bogor, tapi ia juga bisa merubah hidup sahabat-sahabatnya; Dewa dan Nando.

Asalkan perubahan itu mengarah ke yang lebih baik, Maura tak pernah menyesal telah berubah.

"Kok belom tidur juga sih, Ra?"

Finda berjalan ke arah Maura dengan piyamanya. Tangannya memegang segelas air putih yang kemudian disodorkan pada Maura.

"Nanggung, Ma," jawab Maura sambil menerima gelas tersebut.

"Ini udah yang keberapa?" tanya Finda seraya menunjuk kanvas yang membentuk wajah Dewa dengan senyum khasnya.

"Baru yang pertama, Ma."

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now