"Oh..." Maura mengangguk-angguk. "Jadi karna bulan lahir lo Desember, makanya lo jadi telat masuk sekolah ya? Karna umur lo belom mencukupi?"
"Hm." Dewa ikut mengangguk. "100 deh buat kamu! Buat beli permen."
Maura berdecih lalu mengembalikan KTP Dewa. "Berarti ulangtahun lo bentar lagi dong?"
"Masih lama." Dewa memasukkan kembali KTP-nya ke dompet.
Maura mendekatkan tubuhnya ke arah Dewa, menempelkan bahu mereka. Bibirnya tersenyum sangat lebar, dengan alis yang naik turun. Membuat Dewa memundurkan kepalanya sambil mengernyit heran.
"Kenapa lo?" tanya Dewa.
"Lo lagi pengen dikadoin apa?" Maura bertanya balik.
Dewa diam lalu mendorong kening Maura lagi dengan telunjuknya. Dia maju satu langkah sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Pengen apa, Wa? Nggak usah surprise-surprise lagi lah, mending langsung bilang aja pengennya apa, ntar gue beliin."
Dewa masih diam.
"Wa, mau dikadoin apa? Gue kan nggak jago nebak keinginan orang. To the point aja pengennya apa." Maura menunduk dengan bibir yang mengerucut. Dia memang selalu gagal memberi hadiah ulangtahun pada teman-temannya. Karena sifat tidak pekanya, Maura jadi selalu salah memberi hadiah sesuatu yang bukan kesukaan atau keinginan si penerima kado. Alhasil hadiahnya jadi mubazir, tidak terpakai.
"Nggak usah ngasih apa-apa," ucap Dewa akhirnya. Tapi matanya masih belum menatap Maura.
"Kenapa?" tanya Maura. Kembali mengangkat kepalanya, menatap Dewa.
Dewa pun akhirnya balas menatap Maura. Wajahnya dingin dengan rahang yang mengeras. Membuat Maura kaget dan merasa bahwa pasti ada ucapannya tadi yang salah. Sehingga Dewa jadi berubah seperti ini.
"Gue nggak suka ngerayain ulangtahun," ucapnya dengan bibir bergetar.
Setelah Dewa mengucapkan itu, suasana di antara mereka menjadi canggung. Keduanya sama-sama diam. Maura enggan mengeluarkan suaranya jika dilihat dari samping saja wajah Dewa sangat tidak bersahabat. Untuk meminta maaf saja Maura pun tak berani.
Baru setelah mereka duduk di dalam bioskop, Dewa menoleh ke samping kiri tempat Maura duduk dengan tangan memegang soft drink sambil menyimak iklan-iklan yang ditayangkan sebelum film dimulai. Lampu bioksop belum dimatikan, jadi Dewa masih bisa jelas menatap Maura.
"Sorry, ya, Ra," ujar Dewa yang membuat Maura langsung menoleh.
"Gue yang sorry, Wa," balas Maura cepat.
"Gue yang terlalu sensitif. Padahal lo nggak tau apa-apa."
"Makanya kasih tau gue, Wa."
Dewa diam sesaat. Di tatapannya jelas terlihat ada sebuah kesedihan yang Maura lihat tiap kali Dewa menunjukkan sisi lainnya. Sisi tentang keluarganya.
"Sejak mereka jadi 'gila' kayak sekarang, gue nggak pernah lagi ngerayain ulangtahun. Gue jadi nggak suka diucapin selamat ulangtahun. Dikasih hadiah apapun. Karna itu bikin gue sakit. Sakit karna tau kenyataan kalo orangtua gue aja udah nggak pernah lagi inget kapan gue lahir."
Bukannya Dewa, justru malah Maura lah yang meneteskan airmata. Segala kisah tentang Dewa selalu mampu membuatnya sedih. Maura bahkan tak mengerti mengapa justru Dewa tidak pernah menangis disaat dirinya yang hanya mendengar cerita itu saja selalu merasa sebegini sedihnya. Bagaimana Dewa yang menjalaninya?
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Keduapuluh Lima!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)