Namun ketika Maura membalik kertas sketsanya, Dewa mengernyit dan bertanya, "kok ganti kertas?"
"Salah yang tadi," jawab Maura sambil menahan senyumnya.
"Salah? Salah gimana? Kan bisa dihapus, Ra!"
"Jelek pokoknya."
"Trus maksudnya sekarang lo mau ulang lagi dari awal gitu?"
Maura hanya mengangguk. Memulai kembali membuat sketsa wajah Dewa.
"Yang bener aja, Ra, gue pegel duduk begini mulu kali."
"Jadi mau digambar nggak?"
Sialan. Dewa mengumpat. Memandang wajah Maura memang membuatnya betah. Tapi jika harus duduk dan tidak boleh merubah posisi seperti ini terus-menerus Dewa juga capek. Bokongnya bahkan sudah kesemutan.
"Sure, Mam."
Tapi Dewa tidak memiliki kekuatan untuk menolaknya. Maura, matanya, senyumnya dan wajah cantiknya selalu menjadi kelemahan Dewa.
Maura pun tersenyum diam-diam di balik kertasnya. Maura tahu, ulangtahun Dewa sebentar lagi. Oleh karena itu Maura sedang menyiapkan sesuatu untuk diberikan padanya.
"Kalo kali ini sampe salah lagi, nggak ada kata ampun, Ra," kata Dewa lagi dengan raut wajah dibuat galak.
Maura terkekeh. "Nggak takut!" Lalu menjulurkan lidahnya pada Dewa.
Ketika sampai di mana Maura menggambar bibir Dewa, Maura harus beberapa kali memindahkan matanya dari kertas ke bibir tipis agak kehitaman milik Dewa. Dan Dewa pun menyadari hal itu, kalau Maura sedang menggambar bibirnya.
Tapi bukannya diam, Dewa malah menggerakkan bibirnya. Memanggil Maura.
"Ra."
"Diem, Wa, gue lagi gambar bibir lo."
"Maura Prasetyo."
Ketika Dewa menyebutkan nama lengkapnya, memori beberapa bulan yang lalu melintas lagi di kepala Maura. Mengingatkannya lagi pada hari di mana Dewa berlutut di depannya, di barbershop Kay, dengan wajah serius.
Maka, kali ini rasa khawatir itu kembali Maura rasakan lagi. Mungkinkah kali ini Dewa juga akan mengerjainya?
"Apaan?" Maura masih mencoba tenang dan biasa saja.
"Gue penasaran."
"Penasaran apa?" Maura belum menatap bibir Dewa lagi.
"Lo beneran suka sama Nando?"
Pertanyaan Dewa membuat Maura menelan ludahnya. Tangannya yang memegang pensil ikut berhenti bergerak di atas kertas. Rasa khawatir itu ternyata benar. Dan jika Maura menatap wajah Dewa, Maura yakin wajah Dewa sama seriusnya seperti waktu itu.
"Hm." Akhirnya Maura menjawab dengan gumaman.
"Kenapa bisa suka sama dia?"
Maura memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan balas menatap Dewa yang terpaut dua meter di depannya. Tapi ternyata dugaannya tadi salah. Wajah Dewa tidak sama seperti waktu itu. Saat ini justru Dewa tengah tersenyum dengan sorot mata yang seperti Dewa biasanya.
"Kenapa lo nanya?"
"Gue penasaran," jawab Dewa.
"Harus gue jawab?"
"Kalo lo mau bikin gue nanti mati penasaran ya nggak usah dijawab."
Maura diam. Matanya kembali pada kertas sketsanya. Pensilnya pun ia coba gerakkan kembali.
"Lo sendiri kenapa bisa suka sama gue?" tanya Maura.
Dewa tersenyum semakin lebar. "Lo cantik."
"Standar banget jawabannya," balas Maura sambil lanjut mencoret-coret kertasnya.
"Itu mah bukan jawaban gue. Itu komentar gue, ini... kalo dari sini lo keliatan cantik banget."
"Wa..." Dengan wajah malasnya, Maura mengangkat kepala lalu menatap Dewa. "Emang nggak pernah bisa jawab yang bener deh ya!"
Ketika Maura menatapnya, barulah Dewa menjawab dengan benar dan yakin. "Karna lo cantik, pintar, semangat, ambisius. Lo juga nggak peduli gue anak siapa atau dari keluarga apa, yang lo peduliin cuma berapa nilai gue. Lo orang yang mau ngebuka pintu rumah tiap gue lari. Lo orang pertama yang ngobatin luka-luka gue. Lo yang bisa bikin gue mau nyeritain semua masalah gue. Lo yang sikapnya tetep nggak berubah waktu tau cerita keluarga gue. Intinya, gue cinta sama lo karna lo adalah Maura. Karna kalo lo bukan lo, gue nggak akan cinta sama lo."
Maura mengerjapkan matanya setelah Dewa menyelesaikan ucapannya. "Ternyata lo bisa jawab yang bener ya? Dan hebatnya, jawaban lo bikin gue kehabisan kata-kata."
Dewa terkekeh. "Seriusnya orang yang nggak pernah ngomong serius, ya kayak gini."
Maura menggeleng. "Bukan... maksud gue, selama ini gue pikir cinta nggak butuh alasan. Tapi lo nunjukin ke gue kalo cinta pasti punya alasan. Cinta nggak mungkin dateng gitu aja, pasti ada satu kejadian atau satu alasan yang bikin cinta itu ada. Pasti. Tanpa disadari. Entah itu karna fisik, sifat atau kejadian tertentu."
"Yang bilang cinta nggak butuh alasan, berarti dia orang yang bisa jatuh cinta sama siapapun."
"Kalo emang hatinya yang milih gimana?"
"Kayaknya itu cuma ada di cerita-cerita novel deh."
"Gue ngerasain itu sendiri kok."
Dewa berhenti tersenyum. "Maksudnya, lo nggak punya alasan kenapa cinta sama Nando?"
Kedua bahu Maura melorot. Matanya tidak lagi menatap Dewa. Punggungnya disandarkan ke kursi. Sketchbooknya dibiarkan tergeletak di atas paha. "Bukan itu," jawab Maura. "Gue nggak ngerti kenapa gue lebih milih cinta sama Nando dibanding sama lo. Gue nggak punya alasan untuk itu."
Maura kembali menatap Dewa. Matanya sendu dan lemah. Kebimbangan sangat jelas terlihat di sana. "Padahal cuma lo yang selalu ada buat gue. Cuma lo yang bisa mencintai gue dengan alasan yang beda dari oranglain. Tapi... kenapa gue justru cintanya sama Nando? Gue nggak ngerti."
Ketika bulir-bulir bening mulai berjatuhan dari ujung mata Maura, Dewa langsung bangkit dari tempatnya dan menghampiri Maura. Dia berdiri di depan Maura, menarik kepala Maura ke tubuhnya. Membelai rambutnya penuh pengertian. Dan Maura pun kembali melanjutkan kesedihannya sambil melingkarkan tangan di pinggang Dewa.
"Gue nggak tau apa yang hati gue pilih. Gue nggak tau alasan apa yang bikin gue yakin kalo gue lebih cinta sama Nando daripada lo. Gue punya alasan kenapa bisa cinta sama Nando. Gue... gue juga punya alasan untuk bisa cinta sama lo. Tapi gue nggak punya alasan kenapa gue justru milih Nando. Gue nggak ngerti, Wa. Sekeras apapun gue nyari tau alasannya, gue tetep nggak ngerti!"
"Gapapa. Gue ngerti kok, Ra," kata Dewa, mencoba menenangkan Maura dari rasa bersalah dan kebimbangannya. Gadis itu menangis lebih kencang dari sebelumnya. "Pasti alasan itu adalah sesuatu yang nggak gue punya tapi Nando punya," kata Dewa lagi.
"Dan gue juga nggak ngerti, kenapa gue tetep nggak mau lo berhenti mencintai gue?"
"Karna manusia memang seperti itu."
***
tbc
Maura jangan dimarahin terus ya, huhu. Dia sendiri juga nggak ngerti kenapa dia begitu. Kadang kita memang tidak bisa memilih siapa yang hati kita pilih.
<<< Inesia Pratiwi >>>
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Keduapuluh Empat!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)