"Gue tendang kalo lo berani!"
"Apa gue nyanyi di depan rumah lo aja?"
"Bodo amat!"
"Apa mau gue bikinin lagu aja?"
"Wa, lampu hijau tuh!" Maura mengalihkan kegilaan Dewa.
Dewa pun tertawa lalu menjalankan mobilnya kembali dan fokus pada jalanan di depannya. "Lagian ngapain juga ya gue nembak lo? Toh nggak bakal diterima juga."
Dari samping, Maura memperhatikan wajah Dewa yang tengah tersenyum geli dengan ucapannya sendiri. Di balik senyum itu, Maura yakin tersimpan kekecewaan. Yang membuat tumpukan rasa bersalah di atas kepalanya semakin bertambah berat.
***
Hanya ada Bi Kokom di rumah. Setelah mengambil raport Maura, Pras langsung kembali ke kantornya. Finda juga masih berada di studionya. Saat melangkah menuju pintu rumah, Dewa tersenyum pada Bi Kokom yang sepertinya sedang memetik buah belimbing di pohon halaman depan.
"Konnichiwa, Bi!" seru Dewa.
"Konnichiwa, Den!" balas Bi Kokom tanpa berpikir lagi. Belakangan ini Dewa sering mempertontonkan film animasi Jepang kepada Bi Kokom sambil mengajarkannya bahasa Jepang sedikit-sedikit.
"Lo nggak ngajarin Bi Kokom yang aneh-aneh juga kan?" tanya Maura sambil membuka sepatunya dan mengganti dengan sandal rumah berbulu miliknya. Maura tahu, cowok dan film Jepang adalah satu-kesatuan yang berujung mencurigakan.
Dewa melangkah masuk ke rumah lebih dulu. "Ikeh Ikeh Kimochi gitu maksudnya?"
"Dewa, ya ampun!" jerit Maura sambil melempar punggung Dewa dengan sandal berbulu miliknya.
Sambil berbalik, Dewa tertawa. Sandal Maura yang jatuh di depannya ditendang lagi pada pemiliknya. Tapi sambil menendang, Dewa kembali mengatakan kata-kata yang membuat Maura ingin melempar sebelah sandalnya lagi.
"Yamete kudasai senpai!"
"Dewaaaa, pulang lo sekarang!"
Dewa terus tertawa geli. "Ih emang ngerti, Ra? Emang apaan artinya?"
"Ishhhh!" Maura tidak mau lagi meladeni Dewa. Tanpa alas kaki apapun karena sebelah sandalnya sudah dia lempar lagi ke arah Dewa, Maura berjalan cepat melewati Dewa menuju kamarnya untuk ganti baju. Dewa mesum. Maura jadi takut.
***
Di perpustakaan rumahnya, seluruh peralatan melukis Maura tersimpan di sana. Meskipun semenjak persiapan ujian semester Maura jarang menggunakannya. Dan hari ini pula Maura tidak menggunakannya untuk melukis Dewa.
"Kok nggak pake canvas sih?" komentar Dewa saat Maura datang dengan buku sketsa dan pensilnya.
"Sketsa aja," jawab Maura lalu duduk berhadapan dengan Dewa.
"Ih, gue kan maunya dilukis."
"Iya sketsanya dulu, nanti baru dilukis."
"Repot banget. Biasanya orang-orang langsung ngelukis bisa kok."
"Bawel banget sih. Jadi nggak nih?"
Dewa memutar bola matanya lalu tersenyum dengan pose tubuh dibuat seperti seorang model andal. Membuat Maura tersenyum di balik buku sketsanya.
Maura pun mulai menggoreskan pensilnya di atas kertas. Bolak-balik dari wajah Dewa dan kertas. Dan untuk menghindari rasa bosan, sebelum Maura mulai menggambarnya tadi, Dewa sudah menyetel musik dari ponselnya.
Hingga sekitar satu jam berlalu, Dewa ternyata belum merasa bosan. Karena di posisi seperti ini, Dewa bisa puas memandang ke arah Maura tanpa harus memiliki alasan. Dewa puas bisa melebarkan senyumnya tanpa harus memiliki alasan. Wajah Maura yang sangat cantik itu benar-benar bisa membuat Dewa betah dalam posisi ini bahkan hingga selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Keduapuluh Empat!
Mulai dari awal
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)