Hello, Memory Keduapuluh Tiga!

Start from the beginning
                                        

"Saya yakin Dewa pasti bisa mempertahankan nilainya. Iya kan, sayang?"

Senyum Maminya itu... Dewa nyaris percaya kalau ini bukanlah sandiwara. Senyum Maminya itu... bisakah Dewa berharap kalau itu memang senyuman tulus seorang ibu untuk anaknya? Senyum itu... adalah senyum yang hanya bisa Dewa lihat setiap enam bulan sekali.

"Tenang aja, aku bakal berusaha terus kok, Mi," jawab Dewa, membalas senyuman Maminya.

Tatapan dan senyuman mereka itu bahkan membuat wali kelas Dewa ikut tersenyum. Mereka berhasil menipu oranglain dengan hebat. Juga menipu diri mereka sendiri, bahwa sebenarnya yang mereka lakukan ini tidak sepenuhnya sandiwara.

"Kamu rencana mau lanjut ke mana Dewa?" tanya wali kelasnya lagi.

"Saya pengen ke luar, Pak," jawab Dewa. Di sampingnya, Maminya menoleh ke arah Dewa. Wajahnya terkejut memperhatikan Dewa dari samping. Maminya memang tidak pernah tahu apa-apa tentang Dewa. Apalagi tentang rencana Dewa ini.

"Wah... ke mana?"

"Singapore, Pak."

"Hebat!" Wali kelasnya Dewa mengacungkan dua jempolnya. "Tapi bukannya kamu bilang mau jadi guru? Di Singapore nanti mau ambil apa?"

"Cita-cita saya emang jadi guru, Pak. Tapi ada mimpi saya yang lain yang harus saya kejar di Singapore." Dewa membayangkan wajah Maura di kepalanya, sehingga seulas senyum terbit di bibirnya. "Nanti setelah saya pulang dari Singapore, baru saya akan belajar lagi buat mengejar cita-cita jadi guru."

"Tapi Dewa, jujur saja, sebenarnya saya agak menyayangkan keputusan kamu mau menjadi guru. Dengan nilai seperti ini, kamu bahkan bisa lebih dari sekedar menjadi guru."

Dewa tersenyum. Selalu saja seperti ini pertanyaan orang-orang padanya. "Justru bukannya anak-anak butuh guru yang nilainya sebagus saya, Pak? Seperti Bapak, dulu nilai Bapak pasti juga sebagus saya kan makanya kami bisa jadi sehebat ini?"

"T-tapi..."

"Kalo orang-orang yang nilainya bagus bukan jadi guru, trus yang nanti jadi guru siapa? Yang nilainya biasa-biasa aja? Trus gimana anak-anak penerus nanti bisa punya nilai bagus juga kalo bukan diajar sama guru-guru dengan nilai terbaik?"

Wali kelasnya menghela napas. Menyerah berdebat dengan Dewa di depan orangtuanya seperti ini. Tapi berbeda dengan wali kelasnya yang nampak frustasi, Mami Dewa justru memandang putranya dengan tatapan bangga yang benar-benar tulus. Saking sibuknya dengan keegoisannya sendiri, ia malah jadi lupa dengan putranya. Ia tak pernah menyangka anaknya bisa tumbuh seperti ini, di kala keadaan keluarga mereka hancur. Ia tak menyangka anaknya memiliki mimpi, niat dan tekad semulia ini.

Ia telah melewatkan momen perkembangan Dewa karena keegoisannya sendiri.

***

Di kelas sebelah, Maura juga duduk bersebelahan dengan Pras di depan wali kelasnya. Buku raport yang baru pertama didapatnya dari sekolah ini diletakkan di atas meja. Memaparkan barisan nilainya yang membuat Pras tersenyum.

"Bagus-bagus ya, Pak," kata wali kelas Maura.

Pras mengangguk. Bangga. "Maura tidak pernah bikin masalah kan, Bu?"

"Tidak, Pak. Sebagai murid baru, Maura bahkan memiliki nilai yang sangat bagus. Mampu bersaing dengan murid lama lainnya."

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now