Hello, Memory Keduapuluh!

Start from the beginning
                                        

"Hm," jawab Maura sambil memakai sabuk pengaman.

"Kalian lagi berantem?"

Maura diam. Entah Dewa marah atau tidak padanya, yang jelas Maura hanya merasa bersalah. Sekaligus juga khawatir.

"Dia cemburu kali sama Galih."

"Hah?" Maura langsung menoleh ke arah Finda. Keningnya mengerut.

Finda melirik sekilas dan terkekeh. "Kamu nggak peka banget sih jadi perempuan."

"Ma, please...."

"Haha, ya iya kalo dari yang Mama liat kemaren sih Dewa kayaknya cemburu pas tau kamu mau pergi sama Galih. Kan Mama udah bilang, Ra... Dewa itu sayang sama kamu."

"Aku juga tau, Ma," balas Maura dengan nada lesu.

"Ya udah jangan sampe nyesel ya, Sayang."

"Maksud Mama?"

Tangan kiri Finda yang semula mengontrol tongkat persneling, kini meraih tangan Maura dan membelainya lembut. Matanya tetap fokus pada jalanan di depan. Tidak melaju terlalu kencang meskipun sudah pukul tujuh lewat.

"Pilih yang hati kamu pilih. Jangan terlambat menyadari ketika orang itu udah pergi."

Bukannya mendapat kejelasan, Maura justru jadi semakin bingung dengan jawaban Finda.

***

"Maura!"

Saat berjalan memasuki gerbang sekolah, Elma datang dari arah sampingnya. Merangkul pinggangnya karena mau merangkul bahunya tidak sampai. Maura terlalu tinggi buat Elma.

"Hai!" sapa Maura pada Elma.

"Kok sendirian?"

"Hah?" Maura mengangkat alisnya.

"Kok sendirian dari kemaren? Biasanya sama Dewa."

Biasanya sama Dewa.

Biasanya Dewa nempel terus.

Semua orang di sekolah ini memang tahu kalau Maura selalu bersama Dewa. Jadi pemandangan Maura berjalan sendiri pagi ini tentu jadi tampak asing. Apalagi ini adalah hari kedua Dewa tidak muncul di sekolah. Sama sekali tidak mengangkat teleponnya dan tidak juga mengirimkan pesan.

Teman-teman kelasnya bahkan juga tidak tahu di mana keberadaan Dewa. Walaupun beberapa teman cowoknya mengatakan kalau terkadang Dewa memang suka malas datang ke sekolah saat classmeeting seperti ini. Tapi Maura rasa itu bukan alasan yang tepat saat ini.

"Si Dewa tuh emang nempel mulu ya sama lo. Lo emang nggak risih apa? Dia kan usil banget."

"Dia lucu tau," jawab Maura sambil membayangkan senyum Dewa tiap kali menggoda atau mengerjainya.

"Iya tapi rese banget. Nggak bisa diajak ngomong serius. Yaaaa tapi emang sih, tipe-tipe badboy sama humoris kayak Dewa gitu malah tipe favoritnya cewek-cewek di sekolah ini. Apalagi dia pinter trus juga kaya. Kadang anak-anak lain suka iri sama lo tau, Ra. Lo bisa deket-deket Dewa terus. Pasti dibayarin makan mulu ya, Ra?"

Maura menanggapi ocehan Elma di sampingnya hanya dengan tawa. Ia masih mencari mobil Dewa di parkiran. Tapi tidak ada.

Kalau Dewa benar-benar tidak masuk sekolah lagi hari ini, harus ke mana Maura mencarinya? Alamat rumahnya pun Maura tidak tahu. Nomor telepon sahabat terdekatnya pun Maura tidak tahu.

Sebenarnya siapa Maura bisa mengaku sebagai sahabat Dewa kalau apapun tentang Dewa saja tidak ia tahu? Ia habiskan untuk apa saja kebersamaannya dengan Dewa selama ini? Mengapa ia masih terasa seperti orang asing?

Lalu tiba-tiba, Maura teringat dengan kata-kata Dewa saat kemarin terakhir mereka bertemu. Kata-kata yang membuat Maura menutup mulutnya panik dengan mata berkaca-kaca. Tubuhnya mendadak lemas.

"Lo hati-hati, jangan sampe kenapa-napa lagi. Gue kan nggak bisa jemput lagi. Jauh. Jangan kangen gue, ya! Bye!"

Ternyata kata-kata itu adalah kode dari Dewa kalau ia akan pergi.

***

tbc

Komentar yg banyak ya kalo ga mau Dewa pergi. Hihi~

<<< Inesia Pratiwi >>>
(Re-published 25/9/17)

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now