Hello, Memory Keduapuluh!

Start from the beginning
                                        

"Aku mau UN. Nggak bisa pindah."

"Gampang. Bisa diatur. Yang penting kamu di sini tenang ujiannya. Nggak mikirin masalah mereka terus."

"Aku udah biasa kok."

"Tapi mental dan hati kamu tetep nggak akan bisa terbiasa!"

Dewa berhenti mengunyah pisangnya sesaat. Ketika neneknya membahas tentang hati, di dalam dadanya sana hatinya merasakan nyeri lagi. Sakit berada di kondisi keluarga seperti ini.

"Kamu bisa aja senyum di luar, ketawa, ceria. Tapi hati kamu sakit kan terus-terusan liat kelakuan orangtua kamu? Kamu cuma berusaha kuat dengan merokok. Kamu menipu orang sekitar kamu dengan candaan. Tapi Omah tau, mental dan hati kamu nggak baik-baik aja. Bahkan Omah tau saat ini kamu pengen nangis keras-keras."

Dewa menelan habis pisangnya sambil memandangi bingkai foto besar di tembok depannya. Foto keluarganya saat masih lengkap, saat Dewi dan Opahnya masih hidup. Saat keadaan keluarga masih harmonis. Saat Dewa masih merasakan hangat pelukan dan kecupan Mami di hari ulangtahunnya. Saat Dewa belum mengerti apa itu perselingkuhan, perceraian.

Di rumah ini dulu Papinya melamar Maminya. Di rumah ini dulu keluarganya berkumpul saat hari raya. Di rumah ini dulu tempatnya berlibur sekolah. Dan di rumah ini juga tempat adiknya meregang nyawa.

"Kamu masih bertahan di peringkat satu kan? Nanti Omah cariin sekolah paling favorit di sini. Titik!"

Rumah ini sama menyakitkannya dengan rumahnya. Akan percuma saja jika ia pindah ke sini.

Lagipula yang paling penting, di sini ia tidak bisa bertemu Maura.

***

Sampai pukul tujuh kurang lima belas, Maura masih berdiri cemas di teras rumahnya. Bolak-balik sambil sesekali melihat jarum di jam tangannya dan melihat ke luar pagar rumah.

Tapi yang ditunggunya belum juga datang.

"Ayo Mama anter aja, Ra."

Maura menoleh. Sekali lagi ia lihat jam tangannya. Jam tujuh kurang sepuluh menit. Untungnya mulai hari ini hingga satu minggu ke depan tidak ada kegiatan belajar mengajar. Hanya pertandingan antar kelas atau remedial-remedial. Jadi kalaupun nanti Maura datang terlambat tidak akan terlalu menyulitkan.

"Nunggu Dewa aja, Ma. Bentar lagi paling dateng kok."

Finda membawa tas dan kunci mobilnya keluar dari pintu rumah. "Udah jam segini. Udah ditelpon belom?"

"Nggak diangkat."

"Kesiangan kali Dewa. Udah ayo Mama anter aja."

Maura masih belum mengikuti Finda yang sudah berjalan menuju mobilnya. Ia masih terus mencoba menghubungi Dewa lagi.

"Maura, ayo! Nanti kamu malah telat juga. Nanti SMS aja ke Dewa kalo kamu udah berangkat duluan."

"Ah, Dewa!" geram Maura pada dirinya sendiri lalu akhirnya memutuskan untuk ikut dengan Finda.

"Kenapa sih? Yang semalem kamu itu nggak bisa hubungin Dewa juga?" tanya Finda sambil memundurkan mobilnya keluar dari garasi.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now