Hello, Memory Keduapuluh!

Start from the beginning
                                        

***

Asap-asap putih mengepul dari mulut dan hidungnya. Di sampingnya, satu bungkus rokok yang isinya hanya tinggal dua batang beserta pemantiknya ikut bergerak maju mundur mengikuti gerakan ayunan yang didudukinya.

Suara decitan besi ayunan yang sudah berkarat menemani suara jangkrik, kodok dan gemericik air mancur di halaman belakang ini. Langit nampak gelap tanpa bintang. Mendung ditemani geluduk-geluduk kecil.

"Pasti di Bogor ujan deres," ucap cowok yang kakinya tidak beralas apapun itu.

"Den Dewa!"

Suara wanita dari arah belakang menginterupsi isapan rokoknya. Dewa pun menoleh setelah mengeluarkan asap rokoknya lagi. Batang nikotin itu ia jepit disela jari telunjuk dan tengah.

"Kenapa, Bi?"

"Anu... Ibu udah pulang. Dipanggil, disuruh ke dalam."

"Iya."

Dewa berdiri dari ayunan dan berjalan di sisi kolam. Melempar sisa rokoknya ke dalam kolam yang ditengahnya terdapat air mancur itu. Tenang saja, Dewa tahu di dalam sana tidak ada ikannya.

Celana levis yang semua ditarik hingga setengah betis, Dewa turunkan kembali saat melangkah masuk ke rumah. Rambutnya ia rapikan sekilas dengan jari. Di depan pintu rumah tadi, Dewa juga buru-buru memakai sandalnya.

Aneh ya, di luar nyeker, di dalam malah pakai sendal.

Iya, itu karena neneknya adalah orang yang sangat disiplin. Agak bawel, suka mengomel. Tapi biar begitu ia sangat menyayangi Dewa. Satu-satunya cucunya yang tersisa.

"Omah!" panggil Dewa, ceria.

Wanita tua yang duduk di meja makan itu menoleh dengan tatapan tak bersahabat. Bukan tak senang cucunya datang, tapi ia tahu pasti sesuatu telah terjadi jika Dewa sampai kabur ke sini.

"Ngapain kamu di sini?"

Dewa semakin tersenyum dan memeluk neneknya dari belakang. "Aku kangen Omah." Manja. Menggemaskan. Dewa bahkan tidak terlihat seperti baru saja berdiri di tengah pertengkaran orangtuanya.

"Mmm!!" Neneknya mengendus-endus. "Kamu ngerokok lagi ya?!"

Dewa memamerkan deretan giginya lalu mencium pipi kiri neneknya. "Cuma dikit."

Neneknya memukul pipi Dewa. "Kamu kabur ke sini, ngerokok, ada masalah apa lagi?"

Dewa menarik kursi makan sebelah neneknya, duduk dan mengambil pisang di atas meja. "Biasa, Mah," jawabnya sambil mengupas kulit pisangnya.

"Mereka ribut lagi?"

Dewa tidak menjawab. Ia memasukkan pisang raja itu ke dalam mulutnya.

"Ckckck, mereka itu bener-bener nggak tau malu." Komentar neneknya sambil geleng-geleng kepala. "Dewa, kamu tinggal di sini aja."

"Males ah, Jakarta udah padat."

"Pindah sekolah di sini."

"Jakarta juga panas."

"Ada AC! Kamu juga udah ujian semester kan? Udah pokoknya nanti biar Omah urus pindahannya buat semester depan."

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now