Hello, Memory Kesembilanbelas!

Start from the beginning
                                        

Tapi sepertinya Dewa mulai putus asa. Sepertinya hingga ia lulus sekolah nanti, keajaiban itu tetap tidak akan datang.

Setelah lulus nanti, Dewa harus siap dan mampu hidup sendiri.

"Aku kan cuma minta kalian bertahan sampe aku lulus! Cuma tinggal beberapa bulan lagi kok. Apa segitu susahnya dibanding aku yang udah bertahan dengan kalian selama bertahun-tahun?!

"Setelah aku lulus, kalian boleh cerai. Terserah. Kalian bebas mau jalanin hidup semau kalian. Kalian boleh nggak usah lagi pikirin aku. Terserah kalian mau ngapain! Tapi tolong... tunggu sampe aku lulus. Sebentaaaaaar aja. Aku nggak minta apa-apa. Aku cuma minta kalian tenang dan tunggu sampe aku lulus. Aku cuma mau mengakhiri masa sekolah dengan tenang, tanpa gangguan dari kalian. Kenapa susah banget sih ngelakuinnya?! Hah?!"

Orangtuanya masih diam. Seperti biasa saat Dewa menengahi mereka, mereka akan langsung diam seolah sedang merenungkan sikap mereka.

"Jadi sekarang kalian cuma punya dua pilihan; tunggu dengan tenang sampe aku lulus, atau liat mayat aku menggantung di rumah ini."

***

Dewa kembali ke bengkel setelah urusan rumahnya selesai. Tanpa luka sedikitpun di tubuhnya. Orangtuanya pun langsung memisahkan diri begitu mendengar ancaman terakhir dari Dewa. Papinya langsung keluar rumah dan Maminya menangis ditemani laki-laki itu.

Dewa berharap ancamannya tadi bisa membuat keadaan rumah menjadi tenang setidaknya sampai ujian nasionalnya selesai. Atau semoga saja keajaiban memang bisa benar-benar datang.

Keluar dari mobil Luna, Dewa menghampiri Hans yang masih mengurus jok mobilnya.

"Cewek yang tadi masih di dalem?" tanya Dewa.

Hans mengangguk. "Masih nungguin lo."

Dewa pun berjalan ke dalam setelah menyerahkan kunci mobil Luna pada montir lain untuk segera di service. Kasihan kalau Luna harus menunggu giliran lebih lama lagi.

Di dalam ruang tunggu itu, Dewa melihat Luna duduk di sofa dengan mata terpejam. Dua lubang telinganya disumpal kabel headset yang menyambung ke ponselnya.

Sebelum melangkah lebih dekat lagi, Dewa justru membalikkan badannya dan kembali ke luar. Ia berjalan ke arah warung di sebelah bengkel dan membeli dua minuman. Untuk dirinya dan Luna.

Saat kembali ke dalam, Luna ternyata masih memejamkan matanya. Dewa pikir gadis itu tertidur menunggunya. Maka ia pun duduk di sebelah Luna, mengakibatkan sofa bergoyang.

Luna langsung membuka kedua matanya. Ia melepas kabel yang menyumpal telinganya dan menatap Dewa.

"Maaf, jadi ngebangunin deh," kata Dewa.

"Nggak kok. Aku emang nggak tidur," jawab Luna.

Dewa menanggapi dengan gumaman. Ia lalu menyodorkan minuman dingin yang tadi dibelinya ke Luna. "Makasih ya mobilnya," ucapnya.

Luna mengambil minuman itu sambil tersenyum. "Jadi makasihnya cuma pake ini doang?" candanya.

"Ya udah aku traktir makan yuk?"

Luna langsung menggeleng-geleng. "Nggak, aku bercanda doang," katanya cepat.

"Aku juga bercanda ngajak makannya," balas Dewa yang membuat Luna terkekeh dan memukul lengannya. Dewa selalu begini, tak pernah berubah.

Dan Dewa juga selalu tak pernah membagi tentang hidupnya dengan Luna. Padahal sebenarnya Luna sangat penasaran dengan apa yang terjadi sehingga membuat Dewa cepat-cepat pergi dengan wajah tegang seperti tadi.

Sayangnya, Luna tak bisa menanyakan itu. Saat menjadi kekasih Dewa saja cowok itu tak pernah menjawab dengan serius, apalagi saat ini? Saat sudah tidak ada lagi hubungan di antara mereka.

"Emm... Dewa," panggil Luna pelan.

"Hm?" Dewa sedang meneguk minumannya.

"Boleh nanya nggak?"

Dewa menangguk santai, tanpa berpikir apakah pertanyaan Luna serius atau tidak.

"Emm... kalo emang nanti kita udah nggak bisa balikan lagi, aku masih bisa jadi sahabat kamu kan?"

Barulah Dewa menoleh. Ia membalas tatapan Luna. "Buat aku, sekarang kita emang sahabat kok."

"Oh, syukurlah." Luna menghela napas dan tersenyum. "Aku cuma ngerasa jadi canggung aja sama kamu kalo di sekolah."

"Kenapa gitu?"

Luna menggeleng. Tak yakin. "Mungkin karna aku masih belum bisa lupain kamu."

"Jangan dilupain orangnya atau kenangan indahnya. Tapi perasaannya."

"Maksud kamu?"

"Aku dan kenangan indah kita waktu pacaran pasti emang nggak akan bisa kamu lupain. Yang harus kamu lupain itu perasaan kamu yang dulu ke aku. Perasaan cinta kamu. Lupain perasaan itu dan gantikan dengan perasaan sayang sebagai sahabat."

Luna sedikit mengerti. "Menurut kamu aku bisa? Kalo ternyata pas liat kamu aja perasaan itu muncul lagi."

"Berarti kamu harus ketemu oranglain, buat mengalihkan perasaan itu."

"Pelarian dong?"

"Pengalihan, bukan pelarian."

"Apa bedanya? Sama aja."

"Luna, pelarian itu memaksa lari dari seseorang dengan oranglain. Itu kejam, terpaksa dan nggak tulus. Tapi kalo pengalihan itu hanya mencoba memindahkan perhatian yang semula pada seseorang ke oranglain. Nggak berniat memaksa dan berjalan perlahan."

"Jadi aku cuma perlu cari oranglain yang bisa bikin aku mengalihkan perhatianku yang semula tertuju ke kamu? Gitu?"

Dewa mengangguk. "Melupakan itu kata kerja, tentang usaha. Kalo cuma di bibir bilang mau ngelupain tapi cuma diem di tempat aja nggak akan berhasil, Lun. Kamu harus cari oranglain atau sesuatu yang lain untuk bisa kamu alihkan perhatian kamu dari aku."

Luna diam. Menyerap baik-baik yang Dewa katakan.

"Sebenernya melupakan itu gampang, Lun. Yang susah itu mencintai diam-diam."

***

tbc

<<< Inesia Pratiwi >>>
(Re-published 23/9/17)

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now