Dan tepat sebelum laki-laki tamu Maminya itu berjalan mendekat Papinya untuk membalas dengan tinjuan lagi, Dewa langsung melempar vas bunga itu di tengah-tengah mereka. Vas tersebut menabrak jendela hingga pecah dan terjun bebas ke lantai satu.
Sontak vas yang melayang itu membuat Mami, Papi dan laki-laki itu menoleh kaget ke arah Dewa. Sementara di lantai bawah, suara jeritan kaget Bi Warni sempat terdengar.
Dengan pembawaannya yang santai dan sedikit songong, Dewa mengangkat alisnya lalu berjalan perlahan mendekati mereka.
"Ups, sorry... nggak ada yang kena, kan?" tanya Dewa dengan mimik sok khawatir.
Tak ada yang menjawab. Mereka masih mengatur napas masing-masing bekas emosi tadi. Sampai akhirnya Dewa sampai di tengah-tengah mereka bertiga. Berdiri paling tinggi.
"Lagian pada berisik banget sih. Bikin rumah berantakan aja," ucap Dewa. Masih bersidekap. "Pada nggak bosen apa? Yang denger aja bosen!"
"Dewa! Kamu urus tuh Mami kamu!" balas Papinya.
"Trus Papi ngurusin siapa dong? Selingkuhan sama anak haramnya?"
"Dewa!!!" bentak Papinya. "Dasar! Anak sama ibu emang sama aja!"
Mami Dewa tak terima dirinya dan Dewa dihina begitu. "Heh! Kamu pikir kamu udah jadi orang paling bener?! Ayah macam apa yang nggak pernah peduli sama anak kandungnya sendiri tapi malah peduli sama anak haramnya?! Pake otak dong, Mas!!! Kamu pikir uang doang cukup buat Dewa?!"
Hampir saja Papi Dewa menampar Maminya lagi kalau saja Dewa tidak berteriak melerai. Dan sepertinya amarah cowok itu mulai naik.
"Berisikkk!" seru Dewa.
"Mami juga sama aja! Pake otak dong! Mami pikir pembantu doang cukup buat aku? Mana peran Mami sebagai ibu?! Kerjaannya cuma buang-buang uang sama gigolo! Bawa gigolo di depan anak laki-lakinya sendiri! Nggak inget umur! Nggak tau malu!"
Dewa menatap Mami dan Papinya bergantian. Tangannya menunjuk-nunjuk dua orangtuanya. "Kalian itu sama aja! Sama-sama nggak pake otak, nggak mikir, nggak ngaca, nggak tau malu!! Nggak usah saling menyalahkan, nggak usah sok jadi yang paling bener! Emangnya kalian lupa tentang Dewi? Kalian masih nggak cukup juga udah bikin Dewi bunuh diri gara-gara kelakuan kalian?! Anak umur duabelas tahun yang harusnya masih bisa punya masa depan! Anak perempuan kalian! Masih nggak cukup juga??! Masih nggak bisa bikin kalian sadar? Apa perlu aku juga bunuh diri biar kalian sadar??!!!!"
Dewa nyaris menangis kalau saja tidak ingat tangisannya ini hanyalah sia-sia. Percuma saja saat ini orangtuanya diam mendengarkan kalau besok-besok kejadian ini akan terulang kembali juga. Alhasil ia hanya mengusap wajahnya kasar.
Dewa lelah.
Ingin menangis tapi sia-sia.
Ingin menjerit tapi tak didengar.
Ingin pergi tapi tak punya tujuan.
Ingin mengakhiri tapi masih belum rela.
Dewa masih ingin berharap ada keajaiban datang sehingga kedua orangtuanya bisa sadar dan kembali bersatu. Dewa selalu menunggu waktu itu datang. Makanya ia selalu sabar menghadapi hidupnya ini. Memberi waktu pada orangtuanya sampai ia lulus sekolah.
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Kesembilanbelas!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)