Di bengkel, Dewa keluar dari mobil sambil menarik lengan jaketnya hingga ke siku dengan gerakan kasar. Meskipun ia berulang kali mencoba untuk tidak cemburu, tetap saja hatinya gusar.
Hans, temannya pemilik bengkel ini mengerutkan keningnya melihat Dewa datang padanya dengan wajah muram seperti itu. Dengan pakaian montir berwarna navy-nya, Hans mendekati Dewa yang duduk di atas kap mobilnya sambil menggerutu. Hans, meskipun ia adalah pemilik bengkel besar ini, ia tetap turun langsung ke lapangan seperti montir-montir lainnya. Di usianya yang baru menginjak 23 tahun, Hans sudah sukses dengan bisnis otomotifnya ini.
"Kenapa, lay?" tanya Hans, ikut duduk di atas kap mobil Dewa.
"Ada air es nggak? Panas!!!"
"Mendung gini panas dari mananya!"
"Hati gue panas!!!" jawab Dewa, mengibas-ngibaskan kaos hitamnya.
Hans terkekeh. "Kenapa sih, lay?"
"Ah, nggak tau lah! Ya udah mana sarung jok yang gue pesen, udah ada kan?"
"Udah, tuh. Dateng langsung dari Jerman! Mau dipasang sekarang?"
Dewa mengangguk.
Tak lama saat pemasangan sarung jok mobil barunya, Dewa yang turut membantu dalam pemasangannya itu langsung menoleh saat mengenali sebuah mobil masuk ke bengkel tersebut. Ia menyipitkan matanya untuk bisa melihat pengemudinya. Dan ketika sang pengemudi membuka pintu mobil, barulah Dewa membenarkan perkiraannya tadi.
Gadis yang turun dari mobil itu benar adalah Luna. Mantan kekasihnya.
"Bening pisan, euy! Mata lo mah emang langsung tau aja ya, Wa, kalo sama yang bening-bening gitu," ucap Hans yang mengikuti arah pandang Dewa.
"Mantan gue, bego!" balas Dewa lalu memutuskan pandangannya dengan Luna.
"Ya elah, perasaan bekasan lo mulu dah kalo yang cakep-cakep mah."
Dewa tidak lagi menanggapi. Tapi dari suara sepatu yang berjalan mendekatinya, Dewa tahu kalau ini adalah Luna. Ia pun mengangkat kepalanya dan kembali menyatukan kontak mata dengan Luna yang tersenyum padanya. Rambutnya berkibar-kibar tertiup angin saat berjalan.
"Dewa!" seru Luna girang. "Kamu lagi ngapain?" tanyanya ketika sudah berdiri di depan Dewa.
"Tuh." Dewa menunjuk jok mobilnya dengan dagu. "Kamu mau ngapain?" tanyanya balik. Masih belum merubah sapaan aku-kamu mereka.
"Mau service."
"Sendirian?"
Luna mengangguk. Masih terus tersenyum. Jujur, ia merindukan Dewa. Rindu berbicara berdua, menatap iris cokelat Dewa sedekat ini di luar sekolah. Ia lantas jadi bahagia bisa bertemu dengan Dewa tanpa disengaja seperti ini. Padahal tadinya ia ingin menyuruh supirnya yang membawa mobilnya ke bengkel.
"Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini," kata Luna. "Kamu emang biasa ke sini?"
"Ini temen aku," jawab Dewa setelah mengangguk. Sambil menunjuk Hans.
"Oh..." Luna mengangguk-angguk penuh arti. Lain kali ia akan datang sendiri ke bengkel ini jika ingin menservice mobilnya lagi. Barangkali ia bisa bertemu dengan Dewa lagi seperti ini.
"Duduk situ aja, Lun, panas di sini." Dewa mengajak Luna duduk di kursi tunggu di dalam bengkel. Bukan tempat tunggu pelanggan biasa yang lainnya, tapi dekat ruangan staff bengkel. Tempatnya ber-AC.
Luna pun mengikuti dengan hati senang. Dewa ternyata masih perhatian padanya.
"Mobil kamu udah diurus, kan?" tanya Dewa setelah duduk dan menyandarkan kepalanya ke tembok.
"Belum, masih nunggu satu lagi katanya."
"Tumben kamu yang jalan ke bengkel, sendirian pula."
"Iya, tadi Pak Amir nggak bisa, mau nganter Papa ke bandara."
Dewa mengangguk-angguk lalu perlahan-lahan memejamkan matanya. "Kalo bosen nyalain aja TVnya. Aku mau tidur, ngantuk."
"Pasti abis bangun pagi buat jogging, ya?"
"Hmm," jawab Dewa. "Kalo mau minum atau makan bilang aja sama ibu-ibu yang mondar-mandir pake baju oren, ya."
"Iya," jawab Luna, tidak membutuhkan apapun lagi selain memandangi wajah Dewa dari samping seperti ini. Kapan lagi ia bisa duduk satu sofa dengan Dewa dan memandangi wajahnya yang terlelap sedekat ini?
"Kalo mobilnya–"
"Iya. Iya. Ya udah kamu tidur aja," potong Luna langsung. Sambil menahan kekehannya.
Dan tiba-tiba, Dewa membuka matanya, tepat saat Luna sedang memandangi wajahnya sambil tersenyum-senyum. Sontak Luna langsung kaget dan membulatkan matanya. Jantungnya berdebar kencang, antara kaget tertangkap basah tengah memandangi Dewa, atau gugup karena tatapannya bertabrakan dengan Dewa di posisi sedekat ini.
"Luna..." panggil Dewa.
"Hm?"
Luna merasakan jantungnya semakin berdebar kencang. Ia tak bisa lagi membayangkan apa yang akan terjadi dengan mereka yang hanya berada di ruangan ini berdua saja. Dengan situasi seperti ini.
***
tbc
Jangan baper! Jangan tambah bingung mau ngeship siapa ya hahahah :p
<<< Inesia Pratiwi >>>
(re-published 20/9/17)
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Ketujuhbelas!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)