"Bukannya emang semua masakan bumbunya pake bawang?"
"Tapi ada yang dihalusin, ada yang diiris doang! Kamu kan nggak bisanya sama yang diiris masih dalam bentuk bawang. Kalo yang cuma dihalusin sih kamu nggak bakal sampe begini!"
"Ya udah maaf... maaf, jangan dimarahin terus nanti aku pingsan nih," adu Maura sok sedih.
"Udah nih, makan obatnya! Mama tuh bukan marahin, tapi khawatir!"
Maura mengangkat kepalanya lalu mulai memakan obatnya. Finda lalu melirik Dewa, baru sadar kalau ternyata ada Dewa. Saking khawatirnya dengan Maura, sejak tadi hanya Maura yang diperhatikannya.
"Dewa? Kamu yang anter Maura pulang, ya?"
Dewa mengangguk lalu menyalami Finda. "Iya, Tante."
"Kok bisa? Kata Maura kamu nggak ikut bakar-bakarnya?"
"Tadi Maura yang telpon saya, minta dijemput."
"Ya ampun! Adek, kenapa ngerepotin Dewa malem-malem begini? Bukannya minta jemput supir Papa aja."
Panggilan itu... membuat Maura mengerucutkan bibirnya. Sementara Dewa terkekeh pelan, ia tahu Maura membenci panggilan itu.
"Nggak tau. Aku kepikirannya cuma Dewa doang," jawabnya.
Dan jawaban itu membuat jantung Dewa berhenti sesaat. Senyumnya mengembang bahagia. Ia jadi merasa kalau di saat-saat terlemah Maura, hanya ia yang dipikirkannya, hanya ia yang dibutuhkannya. Bukan yang lain. Itu membuat Dewa jadi sedikit gede rasa. Merasa seperti memiliki secuil harapan.
"Makanya bawa mobil sendiri! Jadi mau ke mana-mana juga bebas, nggak ngerepotin Dewa terus."
"Nggak apa-apa, Tante, saya malah seneng direpotin Maura," sahut Dewa sambil terus tersenyum-senyum.
"Kamu emang baik banget ya."
Iya, baik banget ya? Sampe-sampe bikin anak Tante nggak bisa terima saya, Tante. Katanya karna saya terlalu sempurna, terlalu baik, batin Dewa menjawab. Tapi mau gimana lagi, saya juga nggak bisa berhenti peduli sama anak Tante.
"Baik aja kok, Tante. Nggak usah pake banget gitu." Dewa lalu berdiri. "Ya udah saya mau pamit pulang dulu. Besok pagi ke sini lagi."
Finda ikut berdiri, tapi Maura tidak, Dewa melarangnya bangun. Ia pun hanya berkomunikasi dengan Dewa lewat tatapan.
Makasih banyak, Wa. Hati-hati di jalan. Begitu yang diucapkan lewat tatapannya. Dan ajaibnya Dewa mengerti.
Iya, lo cepet sembuh! Besok gue ke sini lagi. Begitu jawaban Dewa sebelum berjalan keluar.
Dan setelah Dewa pulang dengan motornya, Finda kembali pada Maura. Memapahnya menuju kamar. Sambil menaiki tangga, Finda bertanya, "Kamu beneran nggak pacaran sama Dewa?"
Pertanyaan itu bukan kali pertama yang Finda tanyakan. Sering. Padahal sudah berkali-kali Maura katakan tidak, tapi Finda tetap tidak bosan menanyakannya lagi.
"Enggak, Ma... ya ampun."
"Tapi kamu suka dia, kan?" Kalau yang ini, baru pertanyaan pertama.
Maura pun diam sesaat. Bingung mau menjawab seperti apa di saat hatinya sendiri pun tidak tahu jawaban pastinya. Memang benar ia menyukai Dewa, tetapi tidak sebesar ia menyukai Nando.
"Aku lebih suka sama orang lain, Ma," jawab Maura akhirnya.
"Nando?" tebak Finda yang membuat Maura menoleh cepat. Meskipun Finda bukan ibu kandung Maura, tetapi ia tahu segala yang dirasakan oleh Maura. Mereka seolah memiliki kontak batin yang kuat.
"Ma...." Maura bahkan sampai tak bisa lagi berkata-kata.
"Sayang, menyayangi orang yang juga menyayangi kita itu lebih baik, nggak akan menyakitkan seperti menyayangi orang yang belum kita tau hatinya untuk siapa. Dan Mama tahu, Dewa sayang banget sama kamu. Bukan cuma sayang sebagai sahabat."
Ucapan Finda sama sekali tidak membantunya. Hatinya tetap saja masih tidak bisa menemukan jawaban. Atau... memang hatinya yang terlalu keras?
"Oh iya, tadi pas kamu pergi Galih telepon ke rumah," kata Finda lagi yang membuat benang-benang di kepala Maura semakin kusut.
"Galih.... Pak Galih???"
Finda mengangguk setelah merebahkan Maura di kasurnya. "Iya, guru kamu. Anaknya Pak Hendra."
"Ngapain, Ma?"
"Nanyain kamu. Tapi pas Mama bilang kamu lagi pergi, dia jadi malah ngobrol sama Mama. Ngobrol banyak, ada kali sampe setengah jam. Katanya sih tadinya dia mau main ke sini kalo kamu ada di rumah."
Malem minggu gini? Mau main ke rumah?!
Maura memejamkan kembali matanya sambil memijit keningnya yang semakin pening. Belum juga selesai hatinya diombang-ambing oleh dua laki-laki, kini satu lagi laki-laki datang mendekatinya.
Tuhan... ini memang bukan kali pertama Maura didekati oleh beberapa laki-laki, tapi untuk yang kali ini entah kenapa terasa sangat memberatkannya. Mungkin bisa jadi karena ketiga-tiganya mampu menarik perhatiannya. Mampu menyentuh hatinya.
Dan ini juga adalah pertama kalinya ia begitu memikirkan soal cinta, dibanding pelajaran atau masa depannya.
Duniannya benar-benar telah berubah!
"Katanya besok dia mau ke sini, kalo jadi dia bakal hubungin kamu."
Besok?! Oke good, besok Pak Galih mau ke sini dan besok Dewa juga mau ke sini lagi. Mantap sekali, Maura! Aaarggghhh! Dalam hatinya, Maura menjerit-jerit.
***
tbc
Pak Galih muncul lagi jengjengjenggg hahaha bakal jadi cinta segi berapa ya nanti?? :3
<<< Inesia Pratiwi >>>
(re-published 18/9/17)
BẠN ĐANG ĐỌC
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Keenambelas!
Bắt đầu từ đầu
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)