Hello, Memory Keenambelas!

Mulai dari awal
                                        

"Ya udah ayo gue anter pulang. Ah elah, mana gue nggak pake jaket juga. Tolol!"

Maura terkekeh mendengar keluhan Dewa pada dirinya sendiri. Pasti tadi ia sudah membuat Dewa cemas sehingga langsung buru-buru menjemputnya tanpa membawa apa-apa seperti ini.

"Maaf, ya, gue bikin khawatir lo."

Mendengar itu, Dewa mendorong bahu Maura dan menatapnya. Sorot itu adalah sorot kesal, juga khawatir.

"Makanya dong Ra, hati-hati. Duh... coba kalo lo kenapa-kenapa, gue harus cinta sama siapa lagi?!"

"Ihhh!!!" Maura mencubit pipi Dewa. Masih sempat-sempatnya saja cowok ini menggombal. Masih saja terus usaha. Maura kan takut hatinya tergoyahkan lagi. "Udah, ayo pulang. Nanti gue bisa pingsan di sini."

"Huft, padahal gue nggak gombal." Dewa memasang tampang sedih yang malah menggemaskan bagi Maura.

Mereka pun lalu naik ke atas motor dan melaju menuju rumah Maura.

"Pegangan yang erat. Meskipun gue nggak bakal ngebut, tetep jangan dilepas. Jangan tidur juga, nanti kejengkang."

Maura mengangguk patuh. Untuk pertama kalinya, ia duduk di belakang Dewa, bersandar pada punggungnya, memeluk pinggangnya, meletakkan kepala di bahunya. Mendengarkan bisikan angin malam yang menyuarakan kebimbangan hatinya.

Perasaan ini lagi-lagi membuatnya dilema. Terjebak di antara dua hati, dua cinta, dua sahabat.

***

Sesampainya di rumah Maura, Dewa menuntun Maura sampai ke depan pintu. Sebenarnya Dewa sangat ingin menggendongnya, tetapi Maura menolak. Iya, Dewa paham, ia bukan siapa-siapa, nggak boleh asal pegang-pegang.

Pintu rumah dibuka oleh Finda yang kebetulan sedang mengambil air di dapur. Ia masih terjaga di jam segini karena sedang memainkan pianonya. Jangan tanya kenapa di jam segini ia masih memainkan pianonya, jawabannya karena ruang tempat pianonya berada sengaja dibuat kedap suara, sehingga saat Finda ingin berlatih piano yang hanya ia miliki waktunya saat malam hari, tidak akan mengganggu orang rumah yang lain.

"Mama...."

Saat mendengar suara Maura yang serak dan wajahnya yang lemas Finda langsung membulatkan matanya. Panik. Ia tahu jika sudah seperti ini pasti alergi Maura sedang kambuh.

Finda langsung menarik Maura, memindahkan dari rangkulan Dewa ke rangkulannya. "Kamu makan ikannya?!" tanya Finda cemas. Ia tahu alasan Maura pergi ke rumah Fachri tadi, Maura yang pamit padanya sebelum berangkat.

Maura menggeleng lemas, sambil mengikuti papahan Finda menuju sofa. "Makan sup sapi, tapi ada bawangnya."

"Ya ampun...." desah Finda lalu mendudukkan Maura ke sofa. Wanita berdaster itu berjalan cepat ke kotak obat dan mencari milik Maura. "Emangnya nggak keliatan bawang segede gitu apa? Lagian biasanya juga dari baunya aja kamu udah tau kalo ada bawang di situ."

"Nggak tau... udah disiapin bareng nasinya sama mamanya Fachri. Aku juga nggak nyium, bau dagingnya yang lebih dominan," jawab Maura, merebahkan tubuhnya di sofa panjang ruang tamu, kepalanya berbantalkan paha Dewa. Matanya terpejam menikmati belaian tangan Dewa pada rambutnya.

Finda datang dengan obat-obatan dan segelas air. Masih belum puas memarahi Maura. "Makanya kalo udah tau punya alergi begitu harus tau mana masakan yang pake bawang mana yang enggak!"

Hello, Memory!   [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang