Hello, Memory Keenambelas!

Start from the beginning
                                        

Maka Maura pun pamit pulang dengan tubuh yang lemas, tanpa diantar siapapun. Ia tetap tidak mau mereka, atau Fachri tahu di mana rumahnya dan seperti apa rumahnya.

Dari rumah Fachri, yaitu tempat berkumpul tadi, Maura harus berjalan kira-kira satu kilometer agar bisa sampai di Jalan Gardu Raya ini. Tapi tetap saja, tidak ada angkot atau tukang ojek yang ia temukan. Mengingat saat ini sudah pukul sepuluh malam dan ini juga bukan jalan utama.

Dan tadi, satu-satunya yang ia pikirkan hanyalah Dewa. Maura meminta Dewa menjemputnya.

Tak lama, sebuah motor hitam yang tinggi dan bersuara knalpot kencang berhenti tepat di depannya. Senyum Maura pun muncul saat pengendara motor itu kian mendekat. Karena dari perawakan tubuhnya, Maura tahu kalau itu adalah Dewa.

Wajah panik sekaligus khawatirnya langsung dapat terlihat ketika Dewa membuka helmnya dan turun dari motor.

Tidak sampai dua puluh menit setelah Maura menghubungi Dewa tadi, cowok itu kini sudah berada di depannya. Berdiri dengan sorot khawatir, menyentuh kepala dan pundaknya.

"Kenapa, Ra?" tanyanya.

Maura tersenyum, menggeleng lemah. "Alergi gue kambuh."

Dewa berdecak. "Ah, harusnya gue bawa mobil! Lo lemes banget."

"Nggak apa-apa." Maura maju, lebih mendekat pada Dewa.

Laki-laki ini, sahabatnya ini, selalu membuatnya seakan tak perlu takut jatuh karena akan ada dia yang menangkapnya, tak perlu takut sepi karena akan ada dia yang menemani, tak perlu takut apapun karena akan ada dia yang melindungi, tak perlu takut kecewa karena akan ada dia yang menghibur, tak perlu takut sendiri karena akan ada dia yang tetap tinggal, dan tak perlu takut patah hati karena akan ada dia yang mencintai.

"Makasih, ya, Wa." Dengan suara serak, napas terpenggal-penggal dan tubuh lemas, Maura memeluk Dewa. Refleks, saking lemas tubuhnya.

Pelukan ini membuatnya memejamkan mata. Begitu hangat dan nyaman. Sangat pas, seolah bentuk tubuh mereka memang ditakdirkan untuk bisa berpelukan.

Ah, andai saja ia bisa mencintainya....

"Tapi lo nggak apa-apa, kan? Nggak parah, kan?" tanya Dewa, mengusap kepala Maura. Siapapun orang yang melihat mereka, pasti akan menyangka kalau mereka adalah sepasang kekasih.

"Gue mau pulang," jawab Maura setelah menggeleng.

"Ya udah gue cariin taksi, ya. Lo tunggu di sini dulu."

Maura menggeleng. Masih menyandarkan beban tubuhnya pada dada Dewa.

"Nggak apa-apa kok gue naik motor," katanya.

"Tapi keadaan lo lagi kayak gini. Bahaya naik motor. Biasanya lo kalo lagi kambuh gini harus diapain? Cari obatnya di mana? Ah, mana apoteknya udah tutup lagi. Apa minum air putih aja, ya? Mau?"

Dewa masih cemas. Ia memang belum pernah secara langsung melihat alergi Maura kambuh seperti ini. Yang Dewa tahu, biasanya orang alergi itu gatal-gatal dan penuh bercak merah di tubuhnya. Tapi Maura tidak. Justru yang seperti Maura ini malah terlihat lebih parah bagi Dewa.

"Nggak usah. Tadi udah minum kok di sana. Anterin gue pulang aja, nanti minum obatnya di rumah trus tidur."

Dewa menghela napas. Kalau saja tempat ini jaraknya dekat dengan rumahnya, Dewa sudah pasti menelepon Nando untuk membawa mobilnya ke sini.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now