Tiba di rumah megah Dewa, Nando turun dari mobil mengikuti Dewa. Mereka langsung disambut oleh Bi Warni yang tersenyum sambil sedikit membungkuk.
"Temen saya, Bi. Namanya Nando, adiknya Nanda," kata Dewa pada Bi Warni.
"Nanda yang mana, Den?" Bi Warni bingung. Padahal Dewa hanya asal sebut, seperti biasanya dia.
"Yang kakaknya Nando lah, Bi."
Bi Warni hanya memasang ekspresi malas campur kesal lalu detik berikutnya berubah lagi menjadi ramah ke arah Nando. "Halo, Den Nando. Mau minum apa?"
Nando terdiam sesaat. Panggilan itu... membawa kenangan lamanya kembali ke dalam kepalanya. Saat dulu pembantu-pembantunya memanggilnya Den Nando. Saat dulu hidupnya masih baik-baik saja.
"Emm..." Nando kembali pada kesadarannya. "Air es aja, Bi. Makasih, ya."
Bi Warni hanya mengangguk lalu melirik Dewa. Dewa menggelengkan kepalanya dengan ekspresi bertanya, seolah berkomunikasi dengan Bi Warni, menanyakan ketidakberadaan Mami dan laki-laki berondongnya.
Bi Warni yang sudah biasa pun langsung mengerti dan mengangguk. Sambil menunjukkan angka sembilan di jarinya, yang artinya Maminya sudah pergi sejak jam sembilan pagi.
Dewa paham lalu langsung menaiki tangga menuju kamarnya, diikuti Nando. Sambil membuka kancing kemeja seragamnya satu persatu.
"Tumben banget mau main ke rumah gue," kata Dewa sambil membuka pintu kamarnya.
Nando masuk ke kamar bernuansa abu-abu dan hitam itu lalu duduk di atas karpet berbulu bergambar papan catur. Melepas tas ranselnya dan sepatu serta kaos kakinya.
"Lagi bad day aja," jawab Nando.
"Mau rokok?" tawar Dewa tapi detik berikutnya langsung ia tarik kembali. "Jangan, deh. Anak sekolah nggak boleh ngerokok."
Nando terkekeh pelan. "Mau curhat," katanya yang membuat Dewa langsung menghentikan aktifitasnya membuka kaos kaki.
"Curhat? Sama gue?!"
Nando mengangguk.
"Si gelo, lamun hayang curhat mah jeung Mamah Dedeh wae ditu!" (Si gila, kalo mau curhat mah sama Mamah Dedeh aja sana!)
"Mamah Dedeh mana ngerti cinta-cintaan. Nanti gue diteriakin 'haram hukumnya!'"
Dewa tertawa. "Jadi tema nya tentang cinta, nih?"
Nando mengangkat bahunya. Punggungnya lalu bersandar pada ujung kasur Dewa. Kepalanya memandang langit-langit kamar. "Iya. Tentang cinta. Masih dan selalu tentang Mia."
"Ya elah! Tuh biji mulu yang dipikirin." Dewa loncat ke atas kasurnya. Membuat kepala Nando bergoyang. "Masih belom bisa move on, gitu?"
Nando menggeleng lemah. "Ternyata perubahan gue ini nggak ada ngaruhnya buat dia."
"Ya udah lah, kan emang niat awal Maura ngerubah lo bukan karna pengin lo bisa balik lagi sama dia. Kenapa repot, sih?"
Nando memejamkan matanya. "Tadi abis dari ruang guru dia ngomong sama gue. Marah-marah sama gue."
"Oh, pantesan lama." Dewa mengambil ponselnya dan membuka aplikasi game favoritnya.
"Dia masih ngerendahin gue. Walaupun gue udah berubah jadi gini."
"Tapi anak-anak yang lainnya udah enggak, kan? Semenjak lo deket sama gue dan Maura, berubah penampilannya jadi kayak gini, lo bisa hitung berapa orang yang udah senyum sama lo hari ini? Banyak, kan? Banyak kan yang sekarang jadi menghargai kehadiran lo? Terus kalo emang tuh biji ternyata masih juga ngerendahin lo, berarti emang wataknya dia yang nggak bisa menghargai oranglain. Simple, man."
Wow! Ini pertama kalinya Dewa bisa berbicara serius dengan Nando. Sepanjang ini. Nando bahkan sampai terkejut tapi lalu tidak terlalu mempedulikan lagi.
"Tapi dia dulu nggak begitu. Lo tau sendiri dulu kita pacaran bahkan setelah kondisi hidup gue berbalik. Saat semua orang ngejauhin gue, cuma dia yang mau deket sama gue."
"People may changed. But personality not. Sama kayak lo, pasti dia juga menyembunyikan kepribadiannya yang sesungguhnya hanya untuk dirinya sendiri dan orang terdekatnya."
Nando mengangguk-angguk. Membenarkan setiap ucapan Dewa. Ternyata Dewa adalah orang yang bisa ia ajak bercerita, meskipun sikapnya tak pernah serius. Tapi dikala sahabatnya membutuhkan, Dewa siap menyediakan telinganya dan merespon baik-baik. Bukan dengan candaan seperti biasa.
Dan mereka pun menikmati malam minggu dengan bermain FIFA, game kesukaan anak laki-laki. Semua sisa makanan berserakan di kamar. Berantakan seperti hubungan yang sudah tidak saling cinta lagi.
Hingga tiba-tiba pada pukul sepuluh malam, ponsel Dewa berdering. Membuat Dewa terpaksa mengehentikan sementara permainan mereka. Padahal, Dewa sudah hampir menang.
Tapi ketika nama Maura muncul di Caller ID, Dewa langsung melupakan kemenangannya itu. Ia pun langsung mengangkat teleponnya.
"Halo, Ra."
"Dewa... bisa jemput gue nggak?"
Suara Maura yang serak dan bergetar di seberang sana membuat Dewa langsung berdiri panik. Ini pertama kalinya Dewa mendengar Maura dengan suara lemahnya, nyaris menangis.
"Tunggu gue di situ!"
Dan itu membuat Dewa langsung berlari keluar kamarnya tanpa berkata apapun pada Nando yang memasang wajah bingung dan penasaran.
***
tbc
Nah, sekarang Maura gantian tuh yang kenapa ya? Aduhhh liat Dewa panik gitu kok aku jadi gemesssss :33
<<< Inesia Pratiwi >>>
(re-published 18/9/17)
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Kelimabelas!
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)